Mantap! Jokowi Uji dan Permalukan Gatot dengan Puisinya
loading...
Puisi Sang Panglima ... Menurut Anda Apa Yang Tersirat Dalam Puisi Gatot Nurmantyo ?
Panglima TNI Gatot Nurmantyo
Gatot Nurmantyo, Panglima TNI, berpuisi. Isinya sebuah kegelisahan maha dahsyat. Gatot menangisi sebuah realita terkini di negerinya. Ia selaku panglima TNI, risau luar biasa. Kini penduduk negeri zamrud di khatulistiwa yang bernama Indonesia itu, setengah terusir. Mereka bukan tuan di atas negerinya sendiri. Mereka telah terasing, tersingkir, terdepak dan menjadi penonton. Begitulah isi puisi Gatot.
Sebelum kita analisa dengan riang-gembira sambil seruput the lemon tanpa gula, mari kita simak sepenggal puisi Gatot karangan Denny JA itu.
“Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya. Sangat luas sawahnya, tetapi bukan kami punya. Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling. Desa yang kaya raya, tapi bukan kami punya. Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan tertata. Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya. Lihatlah aneka barang, dijual belikan orang. Oh makmurnya, tapi bukan kami punya”.
Apa arti puisi Gatot itu? Ketika disampaikan di Rapimnas Golkar dan keluar dari mulut seorang Panglima TNI, puisi itu bermakna politis. Gatot melempar sebuah realita kepada publik bahwa kini Indonesia yang kaya raya itu sudah tidak dimiliki oleh rakyatnya sendiri. Ada pihak lain, ada orang lain, yang telah menguasainya.
Kata ‘kami’ mewakili rakyat banyak, rakyat mayoritas. Rakyat banyak itu pada saat ini tidak memiliki lagi sawah subur, desa kaya, pasar ramai dan aneka barang yang di jual di bumi Indonesia. “Bukan kami yang punya”, begitu penegasan puisi Gatot. Artinya apa?
Rakyat banyak itu sekarang bukan pemilik. Mereka kini hanya sebagai penonton, sebagai kuli, buruh, pekerja yang terasing dan tersingkir di negerinya sendiri. Mereka sudah tidak punya apa-apa. Mereka bukan tuan atas negeri sendiri. Begitu kira-kira pesan filosofis dari puisi Gatot itu. Lalu mengapa hal itu terjadi?
Puisi Gatot itu menyiratkan pesan bahwa pemerintah sekarang ini, dalam hal ini Jokowi, tidak berpihak kepada rakyat kecil. Benarkah demikian? Jika pesan puisi Gatot ini benar dan diamini sendiri oleh Gatot, maka hal itu sebuah pemahaman yang keliru. Siapa yang memerintah selama 10 tahun dan mengabaikan kemakmuran rakyat dan hanya sibuk berutang menutupi defisit APBN demi subsidi BBM?
Jokowi sendiri baru 2,5 tahun memerintah. Dalam kurun waktu tersebut, Jokowi telah berhasil merebut kembali Freeport dan Blok Mahakam dari tangan asing. Jika kita melihat ke belakang, maka betapa Jokowi telah melakukan kebijakan yang amat berani ketika ia mengembalikan kedaulatan laut ke tangan Indonesia dari pencurian ikan. Lewat menteri Susi, Jokowi mengeluarkan perintah untuk menenggelamkan semua kapal pencuri ikan. Jokowi juga berani melawan para mafia di Petral, PSSI, para mafia daging sapi, beras, gula dan seterusnya.
Apakah Gatot tutup mata bagaimana Jokowi mati-matian membangun infrastruktur yang hampir merata ke seluruh pelosok negeri agar rakyat dapat mengakses pasar lebih mudah? Terakhir bagaimana Papua dapat menikmati harga BBM yang sama harganya di Jawa. Lalu Jokowi terus membangun berbagai bendungan, membuka lahan pertanian yang baru untuk kembali memakmurkan negeri ini.
Setahun terakhir ini, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa, Indonesia berhasil melakukan swasembada beras. Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Seolah tak kenal lelah, Jokowi kini sedang berusaha mati-matian untuk memberikan puluhan juta sertifikat tanah kepada rakyat Indonesia. Tujuannya agar mereka kembali memiliki lahan atas nama mereka sendiri.
Jika puisi Gatot memberikan pesan bahwa rakyat Indonesia yang bukan tuan atas negerinya sendiri dan oleh karena itu butuh pemimpin baru yang tegas, maka itu bisa dimaklumi. Mungkin Gatot ingin menjadi capres atau cawapres pada Pilpres 2019 mendatang? Beberapa sinyal untuk itu menyatakan ya. Dan itu sah-sah saja. Setiap warga negara berhak menjadi presiden di republik ini karena dijamin oleh konstitusi.
Lalu seandainya Gatot menjadi Presiden di republik ini, apakah semudah membalikkan telapak tangan memakmurkan rakyat? Semudah membalikkan tangan kah menjadikan rakyat banyak memiliki sawah yang subur, desa yang kaya raya, pasar swalayan yang ramai dan mampu membeli barang-barang yang sekarang diperjual belikan itu?
Apakah seorang presiden bisa merampas begitu saja tanah, rumah dan harta milik orang kaya? Lalu mengusir pemilik sawah, pemilik pasar, pemilik aneka barang lalu sawah, pasar dan barang itu diberikan kepada rakyat banyak? Bisa kacau negeri ini. Dunia sekarang sangat sensitif. Begitu ada gejolak sedikit saja, modal-modal dari dalam negeri langsung berhamburan keluar. Pasar langsung bereaksi, bahan-bahan pangan langsung melonjak. Ujung-ujungnya rakyat banyak semakin menderita. Hanya satu jalan seperti yang dilakukan Jokowi: bekerja keras.
Saya lebih percaya pada lingkaran setan kemiskinan di negeri ini. Ketika ditanya kepada seseorang, kenapa anda miskin? Jawabnya kKarena ayah saya miskin. Kenapa ayahmu miskin karena kakek saya miskin. Mengapa kakekmu miskin karena ayahnya si kakek miskin. Begitulah seterusnya. Penduduk negeri ini memang banyak namun tidak berkualitas. Ketika sebuah keluarga dililit kemiskinan, maka anak-anaknya kemungkinan besar dilanda juga kemiskinan sampai cucu-cicit.
Manusia-manusia Indonesia terkenal santainya, boros waktu dan uang, sibuk pada hal-hal yang tidak berguna. Mereka sibuk mengurusi SARA, sibuk mengkafir-kafirkan orang. Situasi bertambah parah ketika pada usia muda sudah gemar kawin, lalu cerai, kawin lagi, cerai lagi. Jika ada harta sedikit saja, maka manusia Indonesia mulai berpikir untuk menambah satu isteri. Ada duit lagi, nambah isteri. Begitu seterusnya. Lalu jika sudah sukses menjabat, maka mereka belajar korupsi, belajar menilap uang negara dengan berbagai cara.
Atas dasar situasi di atas, maka sebetulnya puisi Gatot itu bisa dimaknai telah menohok dirinya sendiri. Jika Indonesia sekarang bukan tuan atas negerinya sendiri, hal itu karena adanya mental korup bagi para pejabatnya. Mereka dengan mudah disuap, dibeli oleh asing dan aseng. Kolusi, korupsi dan nepotisme di antara para pejabat-pengusahapun ibarat cinta maut. Ada kerja sama antara pejabat dan pengusaha. Masih ingatkah isi percakapan Reza Chalid dan Setya Novanto yang akan membeli jet pribadi, lalu bersenang-senang main golf jika renegoisasi Freeport berhasil?
Mungkin kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Beberapa hari yang lalu para pejabat BPK tertangkap tangan oleh KPK karena memperjual-belikan opini WTP. Ini contoh mental pejabat yang membuat rakyatnya menderita. Biarpun banyak korupsi anggaran dan tidak dirasakan efeknya oleh rakyat, tetap saja lembaga yang dimaksud mendapat WTP dari BPK.
Maka sangat tepatlah jika Jokowi menguji kehebatan Gatot yang berani berpuisi itu. Bersihkan korupsi di tubuh TNI. Habisi permainan dalam pengadaan dan pembelian alutsista yang dikenal sebagai ‘lahan basah’ di masa lampau. Lakukan apa yang anda puisikan. Untuk mengembalikan rakyat menjadi tuan atas negerinya sendiri, habisi jenderal korup. Begitu kira-kira perintah Jokowi kepada Gatot. Lalu apa reaksi Gatot?
Gatot tak berdaya. Ia sudah berpuisi. Ia malu karena di tubuh TNI sendiri, ada korupsi besar. Kini setelah puisinya viral ditambah perintah dari Jokowi agar Gatot menerjemahkan sendiri puisinya itu di tubuh TNI, Gatotpun dipaksa garang. Tak ada pilihan lain. Puisi telah dilantukan.
Kini Gatot harus bekerja sama dengan KPK menghabisi oknum para jenderap yang korup dan mengusut keterlibatan beberapa perwira TNI yang terlibat dalam pembelian helicopter Apache dan jet tempur F-16. Untuk sementara, sudah ada tiga tersangka dari kalangan perwira TNI dengan kerugian negara sebesar Rp 220 miliar. Ini jelas memalukan.
Untung Gatot berpuisi. Lewat puisinya, Jokowi langsung menguji kehebatan Gatot untuk menerjemahkan puisi itu sendiri dengan membersihkan TNI dari korupsi. Mantap.
Panglima TNI Gatot Nurmantyo
Gatot Nurmantyo, Panglima TNI, berpuisi. Isinya sebuah kegelisahan maha dahsyat. Gatot menangisi sebuah realita terkini di negerinya. Ia selaku panglima TNI, risau luar biasa. Kini penduduk negeri zamrud di khatulistiwa yang bernama Indonesia itu, setengah terusir. Mereka bukan tuan di atas negerinya sendiri. Mereka telah terasing, tersingkir, terdepak dan menjadi penonton. Begitulah isi puisi Gatot.
Sebelum kita analisa dengan riang-gembira sambil seruput the lemon tanpa gula, mari kita simak sepenggal puisi Gatot karangan Denny JA itu.
“Lihatlah hidup di desa, sangat subur tanahnya. Sangat luas sawahnya, tetapi bukan kami punya. Lihat padi menguning, menghiasi bumi sekeliling. Desa yang kaya raya, tapi bukan kami punya. Lihatlah hidup di kota, pasar swalayan tertata. Ramai pasarnya, tapi bukan kami punya. Lihatlah aneka barang, dijual belikan orang. Oh makmurnya, tapi bukan kami punya”.
Apa arti puisi Gatot itu? Ketika disampaikan di Rapimnas Golkar dan keluar dari mulut seorang Panglima TNI, puisi itu bermakna politis. Gatot melempar sebuah realita kepada publik bahwa kini Indonesia yang kaya raya itu sudah tidak dimiliki oleh rakyatnya sendiri. Ada pihak lain, ada orang lain, yang telah menguasainya.
Kata ‘kami’ mewakili rakyat banyak, rakyat mayoritas. Rakyat banyak itu pada saat ini tidak memiliki lagi sawah subur, desa kaya, pasar ramai dan aneka barang yang di jual di bumi Indonesia. “Bukan kami yang punya”, begitu penegasan puisi Gatot. Artinya apa?
Rakyat banyak itu sekarang bukan pemilik. Mereka kini hanya sebagai penonton, sebagai kuli, buruh, pekerja yang terasing dan tersingkir di negerinya sendiri. Mereka sudah tidak punya apa-apa. Mereka bukan tuan atas negeri sendiri. Begitu kira-kira pesan filosofis dari puisi Gatot itu. Lalu mengapa hal itu terjadi?
Puisi Gatot itu menyiratkan pesan bahwa pemerintah sekarang ini, dalam hal ini Jokowi, tidak berpihak kepada rakyat kecil. Benarkah demikian? Jika pesan puisi Gatot ini benar dan diamini sendiri oleh Gatot, maka hal itu sebuah pemahaman yang keliru. Siapa yang memerintah selama 10 tahun dan mengabaikan kemakmuran rakyat dan hanya sibuk berutang menutupi defisit APBN demi subsidi BBM?
Jokowi sendiri baru 2,5 tahun memerintah. Dalam kurun waktu tersebut, Jokowi telah berhasil merebut kembali Freeport dan Blok Mahakam dari tangan asing. Jika kita melihat ke belakang, maka betapa Jokowi telah melakukan kebijakan yang amat berani ketika ia mengembalikan kedaulatan laut ke tangan Indonesia dari pencurian ikan. Lewat menteri Susi, Jokowi mengeluarkan perintah untuk menenggelamkan semua kapal pencuri ikan. Jokowi juga berani melawan para mafia di Petral, PSSI, para mafia daging sapi, beras, gula dan seterusnya.
Apakah Gatot tutup mata bagaimana Jokowi mati-matian membangun infrastruktur yang hampir merata ke seluruh pelosok negeri agar rakyat dapat mengakses pasar lebih mudah? Terakhir bagaimana Papua dapat menikmati harga BBM yang sama harganya di Jawa. Lalu Jokowi terus membangun berbagai bendungan, membuka lahan pertanian yang baru untuk kembali memakmurkan negeri ini.
Setahun terakhir ini, untuk pertama kalinya dalam satu dasawarsa, Indonesia berhasil melakukan swasembada beras. Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Seolah tak kenal lelah, Jokowi kini sedang berusaha mati-matian untuk memberikan puluhan juta sertifikat tanah kepada rakyat Indonesia. Tujuannya agar mereka kembali memiliki lahan atas nama mereka sendiri.
Jika puisi Gatot memberikan pesan bahwa rakyat Indonesia yang bukan tuan atas negerinya sendiri dan oleh karena itu butuh pemimpin baru yang tegas, maka itu bisa dimaklumi. Mungkin Gatot ingin menjadi capres atau cawapres pada Pilpres 2019 mendatang? Beberapa sinyal untuk itu menyatakan ya. Dan itu sah-sah saja. Setiap warga negara berhak menjadi presiden di republik ini karena dijamin oleh konstitusi.
Lalu seandainya Gatot menjadi Presiden di republik ini, apakah semudah membalikkan telapak tangan memakmurkan rakyat? Semudah membalikkan tangan kah menjadikan rakyat banyak memiliki sawah yang subur, desa yang kaya raya, pasar swalayan yang ramai dan mampu membeli barang-barang yang sekarang diperjual belikan itu?
Apakah seorang presiden bisa merampas begitu saja tanah, rumah dan harta milik orang kaya? Lalu mengusir pemilik sawah, pemilik pasar, pemilik aneka barang lalu sawah, pasar dan barang itu diberikan kepada rakyat banyak? Bisa kacau negeri ini. Dunia sekarang sangat sensitif. Begitu ada gejolak sedikit saja, modal-modal dari dalam negeri langsung berhamburan keluar. Pasar langsung bereaksi, bahan-bahan pangan langsung melonjak. Ujung-ujungnya rakyat banyak semakin menderita. Hanya satu jalan seperti yang dilakukan Jokowi: bekerja keras.
Saya lebih percaya pada lingkaran setan kemiskinan di negeri ini. Ketika ditanya kepada seseorang, kenapa anda miskin? Jawabnya kKarena ayah saya miskin. Kenapa ayahmu miskin karena kakek saya miskin. Mengapa kakekmu miskin karena ayahnya si kakek miskin. Begitulah seterusnya. Penduduk negeri ini memang banyak namun tidak berkualitas. Ketika sebuah keluarga dililit kemiskinan, maka anak-anaknya kemungkinan besar dilanda juga kemiskinan sampai cucu-cicit.
Manusia-manusia Indonesia terkenal santainya, boros waktu dan uang, sibuk pada hal-hal yang tidak berguna. Mereka sibuk mengurusi SARA, sibuk mengkafir-kafirkan orang. Situasi bertambah parah ketika pada usia muda sudah gemar kawin, lalu cerai, kawin lagi, cerai lagi. Jika ada harta sedikit saja, maka manusia Indonesia mulai berpikir untuk menambah satu isteri. Ada duit lagi, nambah isteri. Begitu seterusnya. Lalu jika sudah sukses menjabat, maka mereka belajar korupsi, belajar menilap uang negara dengan berbagai cara.
Atas dasar situasi di atas, maka sebetulnya puisi Gatot itu bisa dimaknai telah menohok dirinya sendiri. Jika Indonesia sekarang bukan tuan atas negerinya sendiri, hal itu karena adanya mental korup bagi para pejabatnya. Mereka dengan mudah disuap, dibeli oleh asing dan aseng. Kolusi, korupsi dan nepotisme di antara para pejabat-pengusahapun ibarat cinta maut. Ada kerja sama antara pejabat dan pengusaha. Masih ingatkah isi percakapan Reza Chalid dan Setya Novanto yang akan membeli jet pribadi, lalu bersenang-senang main golf jika renegoisasi Freeport berhasil?
Mungkin kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Beberapa hari yang lalu para pejabat BPK tertangkap tangan oleh KPK karena memperjual-belikan opini WTP. Ini contoh mental pejabat yang membuat rakyatnya menderita. Biarpun banyak korupsi anggaran dan tidak dirasakan efeknya oleh rakyat, tetap saja lembaga yang dimaksud mendapat WTP dari BPK.
Maka sangat tepatlah jika Jokowi menguji kehebatan Gatot yang berani berpuisi itu. Bersihkan korupsi di tubuh TNI. Habisi permainan dalam pengadaan dan pembelian alutsista yang dikenal sebagai ‘lahan basah’ di masa lampau. Lakukan apa yang anda puisikan. Untuk mengembalikan rakyat menjadi tuan atas negerinya sendiri, habisi jenderal korup. Begitu kira-kira perintah Jokowi kepada Gatot. Lalu apa reaksi Gatot?
Gatot tak berdaya. Ia sudah berpuisi. Ia malu karena di tubuh TNI sendiri, ada korupsi besar. Kini setelah puisinya viral ditambah perintah dari Jokowi agar Gatot menerjemahkan sendiri puisinya itu di tubuh TNI, Gatotpun dipaksa garang. Tak ada pilihan lain. Puisi telah dilantukan.
Kini Gatot harus bekerja sama dengan KPK menghabisi oknum para jenderap yang korup dan mengusut keterlibatan beberapa perwira TNI yang terlibat dalam pembelian helicopter Apache dan jet tempur F-16. Untuk sementara, sudah ada tiga tersangka dari kalangan perwira TNI dengan kerugian negara sebesar Rp 220 miliar. Ini jelas memalukan.
Untung Gatot berpuisi. Lewat puisinya, Jokowi langsung menguji kehebatan Gatot untuk menerjemahkan puisi itu sendiri dengan membersihkan TNI dari korupsi. Mantap.
loading...
Tidak ada komentar: