Nur Illahi pada Sosok Jokowi

loading...




SEORANG teman, Heru Wibawa — ia penulis buku Transformasi Diri — Sabtu (23 September 2017), mengundang saya untuk berdiskusi tentang bagaimana menstransformasi diri, sehingga kita mampu peka mendengar suara Tuhan dan menjadi manusia yang siap melakukan revolusi mental.

Membaca bukunya — diterbitkan Gramedia –, saya menyimpulkan Heru telah melakukan transformasi diri dan merevolusi mentalnya, sehingga punya filosofi bahwa apa yang dimiliki sekarang bukan miliknya (pribadi), tetapi kepunyaan-Nya, dan karenanya perlu dibagikan kepada orang lain.

Saya dalam diskusi itu mendapat ilmu dan pengetahuan tentang transformasi diri darinya secara gratis. Saya dan para peserta lain tidak diwajibkan membeli buku yang ditulisnya yang terbit dua bulan lalu. Malam itu peserta diskusi (seminar) bahkan mendapat makan malam di restorannya, Bakmi Jogja Mbak Titut, di Jl Bintaro Raya, Jakarta Selatan.

Heru kini seorang pengusaha. Sebelumnya ia seorang perwira polisi dengan pangkat terakhir AKP (Ajun Komisaris Polisi). Negara pernah menugaskannya ke Bosnia saat negara pecahan Uni Soviet ini berperang saudara dengan Serbia. Di negeri itu polisi RI bergabung dengan pasukan PBB untuk menjaga perdamaian.

“Galau” dengan kehidupan di kepolisian, ia memutuskan keluar sebagai anggota Korps Bhayangkara. Saat memutuskan keluar dari kepolisian, Heru sudah menikah dan mempunyai dua anak yang masih kecil.


Heru Wibawa

Ia lalu berkecimpung di dunia kewirausahaan mulai dari nol, dan pastinya pernah mengalami jatuh bangun. Belajar mendalami rahasia Allah, ia kini sukses menjadi seorang entrepreneur; punya sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang kuliner, jasa sekuriti (keamanan), dan properti (pengembang).

Proyek propertinya ada di kawasan Bekasi/Bogor. Perusahannya sedang menggarap atau ikut ambil bagian menyukseskan program sejuta rumah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Harga rumah yang digarap berkisar Rp 140 juta-Rp 150 juta per unit.

Belakangan, bersama dua kawannya, Heru mendirikan perusahaan konsultan yang menjual jasa di bidang pencegahan, investigasi dan advokasi kejahatan finansial bagi lembaga keuangan.


Dilatarbelakangi pengetahuan dan pengalamannya seperti itulah, Heru Wibawa mampu menganalisis para tokoh dunia yang telah terbukti melakukan revolusi mental dan melakukan aksi (kehendak pribadinya) dengan tuntunan Nur Illahi. Dalam iman Kristen, yang dimaksudkan Heru dengan Nur Illahi mungkin Roh Kudus.

Dalam diskusi malam itu, saya mengungkapkan sejumlah tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Ibu Teresa, Nelson Mandela, Bill Gates (Microsoft) dan Mark Zuckerberg — Mark “menyisihkan” 90 persen kekayaannya dari Facebook untuk kegiatan sosial — sebagai contoh manusia yang telah memiliki Nur Illahi. Untuk tokoh di Indonesia, saya menyebut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Buya Safii Ma’arif.

Kepada Heru Wibawa, saya bertanya, apakah tokoh-tokoh seperti itu yang dimaksud Heru? Ia membenarkan. Namun, khusus untuk konteks Indonesia sekarang ini, menurut Heru, tokoh yang jelas-jelas telah menjalankan kehendak bebasnya demi orang lain dengan melepas segala ego atau kepentingan pribadinya karena berkenan mendengar suara Allah lewat Nur Illahi adalah Jokowi dan Jenderal Sudirman.

Karena konteksnya Indonesia sekarang, di catatan ini, saya tidak akan membahas Jenderal Sudirman (maaf pembaca Seword kali lain saja ya), melainkan Jokowi yang berkali-kali disebut Heru Wibawa guna memberikan contoh konkret kepada peserta diskusi.

Heru menyebut bahwa Nur Illahi ada pada sosok Jokowi. Buktinya, meskipun ia seorang presiden, saat akan menikahkan anak pertamanya, untuk menyewa gedung resepsi, ia bersedia antre.

Karena bekerja dengan tuntunan Nur Illahi, menurut Heru, Jokowi tidak pernah mengenal lelah dan tidak lelah membangun infrastruktur demi rakyat dan pertumbuhan serta pemerataan ekonomi. Ia tidak peduli dengan suara sumbang di luar yang berusaha menjatuhkannya karena ia melakukan kehendak bebasnya demi kepentingan rakyat, bukan kepentingan dirinya, apalagi keluarganya.

Ia sudah selesai dengan dirinya. Oleh sebab itu apa yang dilakukannya — demi bangsa dan negara — karena ia telah mengosongkan dirinya untuk mendengar suara Tuhan yang disebut Heru sebagai Nur Illahi.


Joko Widodo

Sejarah Indonesia mencatat bahwa negeri ini telah memiliki tujuh presiden. Dari tujuh presiden tersebut, berdasarkan pengamatan saya, hanya Jokowi-lah yang mendapat hantaman keras dari mana dan siapa pun. Fitnah dan ejekan (ujaran kebencian) kepada Jokowi diumbar setiap hari, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Ya, oleh rakyatnya sendiri yang merasa paling pintar, paling agamis, paling bermoral dan paling (sekali lagi merasa) suci.

Soekarno di saat-saat mengakhiri jabatannya sebagai presiden pertama memang menderita. Tapi, penyebab penderitaannya “hanya” karena kelakuan busuk sebuah rezim baru.

Namun, tidak demikian dengan Jokowi. Ia “disakiti” (saya sengaja menggunakan tanda petik sebab belum tentu Jokowi yang penuh dengan Nur Illahi itu merasa sakit) oleh anak-anak kemarin sore, bahkan oleh seorang profesor gaek asal Yogyakarta yang tak pernah menepati janji berjalan kaki Jakarta-Yogya jika Jokowi terpilih menjadi presiden.

Fakta membuktikan Jokowi sudah hampir tiga tahun menjadi presiden, tapi si profesor nyinyir itu tetap saja menunggangi dan mengeksploitasi agama nan-suci untuk terus memfitnah Jokowi. Saat seorang pensiunan jenderal gaek berteriak “PKI bangkit”, sang profesor ikut-ikutan berteriak “PKI bangkit”.

Tatkala sebagian rakyat yang tiba-tiba otaknya pindah ke telapak kaki dan berteriak (maaf ya Pak Jokowi) “Jokowi PKI”, si profesor nanbengis itu cuma bisa tertawa bangga.

Sakit hati dan marahkah Jokowi? Sama sekali tidak. Allah lewat Nur Illahi selalu menjaganya. Jokowi tetap berjalan lurus. Menyindir pun tidak, padahal sebagai presiden, ia punya wewenang menindak. Jokowi sangat sadar Allah bersertanya. Orang Kristen menyebut “Imanuel”.

Jokowi sahabat media. Apa pun yang diucapkan bisa menjadi berita utama (HL) surat kabar atau televisi. Namun, berdasarkan pengamatan saya, ia tidak pernah memanfaatkan media untuk mengeluarkan pernyataan demi kepentingan pribadi, keluarga dan kekuasaannya.

Nah, ini yang tidak enak. Karena mempunyai Nur Illahi, menurut Heru Wibawa, demi keutuhan dan kebaikan bangsa, Jokowi pun siap untuk tidak dicalonkan kembali menjadi presiden pada 2019. “Sangat mungkin itu akan dilakukan Jokowi jika memang ia yakin — setelah mendengar suara Tuhan — Indonesia akan lebih baik tanpanya,” ujar Heru.

Di luar memang sudah muncul suara sumbang bahwa partai besar yang pada tahun 2014 mencalonkan Jokowi sebagai presiden, pada 2019 tidak akan mengusung lagi Joko Widodo.

Saya berharap kabar itu cuma hoax. Saya percaya Tuhan tetap akan menyertai perjalanan bangsa ini. Jika pun kabar itu benar adanya, negeri ini masih punya Partai NasDem dan kawan-kawan yang sejak awal konsisten dan konsekuen melanjutkan dan mengawal Jokowi yang ber-Nur Ilahi bekerja, bekerja dan bekerja demi Indonesia tercinta.[]


sumber
loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.