Ditantang FPI , Nyali Amin Rais Dan Prabowo Menciut
loading...
Amien Rais dan Prabowo Subianto
Kemesraan hubungan Prabowo dan Amien Rais dengan FPI tak perlu dipertanyakan lagi. Sejak demo berjidil-dilid untuk menjatuhkan Ahok tahun lalu sekaligus membidik Jokowi, kemesraan mereka makin kental. Mirip ABG yang lagi kasmaran. Di mana ada FPI, Prabowo dan Amien nyaris selalu hadir, demikian sebaliknya.
Ada satu kata yang kerap mereka teriakkan ketika bertemu dan berorasi : jihad! Entah jihad apa dan untuk apa, kurang jelas. Tampaknya, kata ini merupakan simbol perjuangan yang menyatukan hati dan jiwa mereka.
Dalam demo bela Rohingya tanggal 16/9/2017 mereka kembali menunjukkan kepada publik betapa dalamnya "cinta" mereka satu sama lain. Rasa cinta mereka makin dikokohkan oleh kasus Rohingya. Penilaian dan kesimpulan mereka terhadap apa yang dilakukan pemerintahan RI terhadap Rohingya berpijak dan bertemu pada titik yang sama. Bagi mereka, apa yang dilakukan pemerintahan RI tidak berguna bagi Rohingya.
Ngawur
Dalam pidatonya yang berapi-api (cuma tak berasap seperti kebakaran hutan), Prabowo menyampaikan tiga kesimpulannya atas bantuan pemerintah RI terhadap etnis Rohingya. Pertama, bantuan itu hanya pencitraan. Kedua, bantuan itu tidak sampai. Ketiga, Indonesia lemah.
Hal terakhir itu tergambarkan dalam logika pernyataannya, bahwa Indonesia itu harus menjadi bangsa yang kuat untuk membantu etnis Rohingya di Myanmar. Jika Indonesia kuat, maka Indonesia akan disegani oleh bangsa lain (Liputan6.com).
Bagi yang tak malas berpikir, pasti kaget membaca atau mendengarkan pernyataan tersebut. Orang akan bertanya mengapa dikait-kaitkan kekuatan negara --yang dalam terminologi militer berarti kekuatan bersenjata-- dengan kesediaan menolong?
Siapa pun tahu bahwa kebijakan pemerintah RI membantu etnis Rohingya tidak ada kaitannya dengan kekuatan militer. Semata-mata dimotivasi oleh rasa kemanusiaan. Tapi Prabowo tidak bisa melihat itu. Cara berpikir militer yang telah mendarah daging dalam tubuhnya masih melihat setiap masalah secara dikotomis: kalau bukan kawan berarti musuh.
Mungkin juga ada yang bilang, Prabowo masih jengkel kepada Jokowi. Kekalahannya pada Pilpres tahun 2014 belum dapat dia terima sebagai fakta bahwa dirinya tidak (belum?) dianggap layak menjadi presiden oleh rakyat. Oleh sebab itu, setiap kebijakan Jokowi, selalu dianggapnya pencitraan untuk melampiaskan rasa kesalnya sebagaimana selalu dilakukan anak didiknya Fadli Zon dan Fahri Hamzah.
Bagi yang waras, sehat walafiat, pasti berpandangan bahwa menolong orang susah adalah normal, wajar, manusiawi. Hanyalah orang-orang yang hati nuraninya sudah rusak yang menggunakan kesempatan bencana, penderitaan orang lain untuk membangun citra diri sebagai bagian dari kampanye. Atas dasar itu, bukan tidak mungkin ada yang bilang Prabowo mengigau, bicara asal-asalan, tak berdasar, dan ngawur.
Semua rakyat Indonesia (minus Prabowo, Amien Rais dan kawan-kawan mereka yang sehati-sepikir-seperjuangan dengan mereka) sudah sangat paham bahwa Jokowi tak butuh pencitraan. Hasil kerjanya hampir tiga tahun menjadi Presiden RI sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan kepada dunia siapa dan bagaimana kecenderungan hati Jokowi.
Salah besar
Kalau Prabowo bilang bantuan tidak sampai, tentu saja pembaca makin geli. Berita tentang bantuan Indonesia bisa diakses oleh siapa saja di berbagai belahan bumi. Ini antara lain yang dijelaskan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan bencana), Sutopo Purwo Nugroho, yang turun langsung ke lokasi pengungsian etnis Rohingya di Bangladesh.
Dikatakannya, "Salah besar jika bantuan kemanusiaan Pemerintah Indonesia untuk Rohingya di Banglades dikatakan pencitraan. Bantuan ini sangat diperlukan," kata Sutopo lewat akun Twitternya, @Sutopo_BNPB, Sabtu, 16/8/2017. Kalau tidak percaya, silakan datang sendiri ke Cox's Basar. Lihatlah pengungsi Rohingya di sana dan bagaimana respons mereka atas bantuan Pemerintah Indonesia (Kompas.com).
Bukan hanya itu. Pemberian bantuan kepada siapa pun di negara lain tidak seperti menyerahkan sedekah kepada fakir miskin atau korban bencana dalam negeri. Hal yang sama berlaku bagi negara lain bila hendak menyerahkan bantuan kepada korban bencana dalam negeri. Semuanya ada tata cara, prosedur, yang tidak boleh dilangkahi sesuka jidat.
Lebih ngawur lagi, dari dua kengawuran itu, Prabowo tiba-tiba berasumsi bahwa Indonesia lemah. Tidak bisa berbuat apa-apa. Bantuan yang diberikan pemerintah RI dianggapnya tak punya nilai. "Jadi saudara-saudara percaya sama saya, kalau kita kuat kita bisa bantu kaum Rohingya," ujarnya di depan peserta demo (Liputan6.com).
Pernyataan itu jelas-jelas ngawur! Asal omong. Inilah yang membuat anggota Komisi I DPR RI dari PDIP Charles Honoris berang. Ia mempertanyakan apa yang dikehendaki Prabowo. "Apakah harus mengirim pesawat tempur untuk mengebom Yangon? Apakah harus mengirimkan prajurit TNI ke Myanmar untuk melakukan invasi militer? Atau apa?" tanya Charles.
Prabowo pura-pura tidak tahu bahwa siapa pun presiden Indonesia tidak boleh sesukanya mengintervensi negara lain terhadap kasus dalam negeri. Dalam menyalurkan bantuan pun begitu. Myanmar adalah negara berdaulat. Mau memerangi negara lain dengan alasan dan tujuan apa pun, tidak boleh seenaknya. Harus melalui mekanisme hukum internasional seperti resolusi Dewan Keamanan PBB, bukan?
Ngalor ngidul
Bagaimana dengan Amien Rais? Tidak jauh beda. Hanya saja, kritik Amien terhadap bantuan kepada etnis Rohingya di Myanmar tidak fokus. Ia bicara ngalor ngidul. Pertama, ia menilai bahwa bantuan tersebut terlalu lambat. Namun, ukuran cepat lambat yang dikehendaki Amien tidak diutarakan. Pokoknya terlalu lambat!
Ia mengira, bantuan negara bisa diproses seperti meluncurkan kata-kata dari atas mimbar. Begitu ada bencana di negara mana pun, Amien kira negara bisa langsung mengambil duit dari karung, lalu Presiden Jokowi menugaskan kurir untuk menyampaikannya kepada korban secara langsung. Ia lupa bahwa bantuan kemanusiaan antar negara tak boleh sembarangan dan suka-suka.
Kedua, ia bicara isi Pembukaan UUD 45. Dengan gaya seorang siswa petugas bendera pada upacara Senin, Amien bilang, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan," ujarnya lantang. Setelah itu, ia tiba-tiba menarik kesimpulan bahwa pemerintahan di bawah Presiden Jokowi belum melindungi segenap bangsa dari penjajahan sebagaimana diamanatkan UUD 45.
Bagi dia dengan tugas konstitusional itu, Presiden Jokowi seolah-olah dapat maju sendiri menghentikan penindasan di negara manapun, terutama di Myanmar terhadap etnis Rohingya. "Jadi rezim Jokowi ini punya tugas konstitusional yang harus dilaksanakan, yaitu menghentikan penindasan, terutama di Rohingya," ujarnya di depan massa aksi di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
Entah kehabisan bahan, sebelum menguraikan hal itu lebih detil, Amien melompat ke hal lain. Ia menyinggung alutsista TNI dan Polri. Menurutnya, banyak senjata milik TNI/Polri yang kondisinya sudah usang.
Belujm menjelaskan maksudnya menyinggung alutsista, ia kembali nyinyir, nyenyeh, soal kekayaan alam Indonesia yang terus diangkut ke luar negeri. Ia bilang "Permasalahan kita dalam membangun negeri terbentur satu hal, tidak ada uang. Mengapa? Karena kekayaan, uang kita, emas kita, perak kita, minyak kita, batu bara kita digotong ke luar negeri secara terus-menerus," urainya.
Belum membeberkan data tentang kekayaan alam, Amien kembali nyenyeh soal PKI. Dia bilang sangat bergembira adanya instruksi TNI kepada tiap satuan untuk menggelar nobar film G30S/PKI bersama para prajurit. Instruksi itu baginya merupakan pertanda bahwa di Indonesia ada yang tengah membangkitkan kembali organisasi PKI. Ada bukti? Tak satu pun disebut. Yang penting bagi Amien, omong dan omong. Itu saja.
Tantangan FPI
Melihat menggebunya semangat Prabowo dan Amien Rais, hati rekan kental mereka di FPI makin berbunga-bunga. Tapi, tidak sekedar berorasi. Mereka mau aksi nyata. Sekretaris Jenderal FPI, Mohammad Sobri Lubis bilang telah meminta pemerintah memberangkatkan TNI dan Polri memerangi Myanmar atas tindakan mereka kepada warga Rohingya. Namun, permintaan itu tidak direspon pemerintah. Untuk itu, Sobri meminta Prabowo sebagai mantan Jenderal melatih FPI. FPI sudah siap berangkat ke Myanmar menjadi relawan mengangkat senjata melawan tentara Myanmar.
Bagaimana respons Prabowo? Ternyata tidak sebesar omongannya. Mendengar permintaan FPI, nyali Prabowo langsung ciut. Ia tiba-tiba berubah menjadi orang bijak. Ia bilang kepada FPI, "Pidato teman-teman dari FPI memang agak semangat. Harus semangat," katanya lagi.
Menutupi rasa malunya, Prabowo meneruskan aksinya seperti, seolah-olah, dan seakan-akan menjadi orang tua bijak. "Kita tunjukan Islam yang sejuk, yang pintar. Kalau mereka menindas kaum Muslim, kita harus tunjukan kalau kita berkuasa, memberikan perdamaian. Islam menjamin perdamaian," ujarnya.
Dikatakannya lagi, "Kita memperkuat diri dengan ketenangan. Memang saya mantan jenderal tapi kita harus selalu sejuk, tenang pakai kepala, pakai otak," katanya lagi di depan peserta Aksi Bela Islam di Bundaran Patung Kuda. Lha, tadi berapi-api, tiba-tiba ber-es-es (ice)
Ini artinya apa? Bisa macam-macam. Yang paling jelas, bahwa Prabowo plin Plan. Ketika FPI mengajaknya mewujudkan niatnya, ia malah kaget. Sikap aslinya ketahuan. Ia hanya sekedar omong untuk membangun citra dirinya tetapi dengan memerburuk citra kebijakan baik dari Jokowi. Dia kira rakyat masih bisa dikelabui dengan dengan model Tabloid "Obor Rakyat" yang kerjanya menyebar gosip, hoax pada Pilpres 2014.
Amien juga begitu. Ajakan FPI unjuk berperang, tak direspons sama sekali. Tantangan FPI ternyata membuat nyali Prabowo dan Amien Rais ciut. Pertanyaannya, masih adakah yang bisa diharapkan dari mantan tokoh yang beginian? Masih layakkah Prabowo dijagokan menjadi Capres pada Pilpres 2019? Bagaimana kalau dipasangkan dengan Amien Rais? ***
sumber
loading...
Tidak ada komentar: