Jurus Menghilang ala Setnov dan Kisah 3 'Pengawalnya'

loading...



Sejak jadi tersangka kasus e-KTP, Setnov mulai menghilang dari kejaran awak media. Ada tiga orang yang kerap jadi 'pengawal' Setnov di berbagai kesempatan. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto).
Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kompleks Parlemen, sepucuk surat tiba di kantor lembaga anti-rasuah di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (12/9).

Surat itu dari tersangka kasus e-KTP, Setya Novanto atau yang karip dipanggil Setnov. Diantar Kepala Biro Pimpinan Kesekretariatan Jenderal DPR Hani Tapahari, Setnov dalam suratnya memohon agar KPK menunda pemeriksaan dirinya sampai proses praperadilan selesai.

Sedianya, Setnov menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus e-KTP sehari sebelumnya dan menghadiri sidang perdana praperadilan pada hari itu. Namun, itu urung dilakukan lantaran Setnov dikabarkan mendadak menderita vertigo pada Minggu (10/9) malam usai berolahraga.


Setnov kemudian harus dirawat di Rumah Sakit Siloam MRCCC Semanggi karena penyakitnya itu dan menjalani perawatan insentif dari tim dokter. Hingga kini, Setnov dikabarkan masih beristirahat di sana.

Banyak pihak menilai, Setnov terkesan 'menghindar' dari proses hukum kasus dugaan korupsi e-KTP. Tak cuma itu, sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus e-KTP pada pertengahan Juli lalu, Setnov juga mulai menghindar dan menghilang dari sorotan publik dan kejaran awak media.

Misalnya, saat menjadi sorotan ketika akan memimpin agenda sidang paripurna tahunan parlemen dengan Presiden Joko Widodo 16 Agustus lalu, Setnov yang sejak pagi hadir mendadak sakit di siang harinya. Vertigo juga jadi alasan sakitnya kala itu.

Meski hadir dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar, Setnov hampir selalu 'menghilang' sehingga sulit diwawancarai.


Fahri Hamzah dinilai salah satu figur yang 'membela' Setya Novanto.(CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko)
Begitu pula dalam menjalankan tugasnya sehari-hari sebagai pimpinan dewan. Sejak menjadi tersangka, Setnov tak lagi tampak masuk melalui pintu depan Gedung Nusantara III DPR yang menjadi kantor tempat dia bekerja.

Dia memilih masuk lewat 'jalur' lain yang luput dari pantauan awak media. Mobil yang ditumpanginya pun kerap terparkir di bagian belakang kompleks parlemen, dekat kantor Kesekretariatan Jenderal DPR.

Tiga Pengawal Setnov

Setnov juga punya 'pengawal' yang dinilai kerap menjadi 'bemper' di berbagai kesempatan. Sebut saja Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham.

Seringkali, kehadiran Setnov di kantornya ditandai dari kemunculan Idrus. Idrus memang kerap kali menyambangi Gedung Nusantara III DPR untuk berkoordinasi dengan Setnov. Bisa dikatakan, dimana ada Idrus, di situ ada Setnov.

Idrus pula yang kemudian menjadi corong bagi Golkar untuk menggantikan peran Setnov dalam menjawab berbagai pertanyaan awak media terkait berbagai isu.

Idrus juga yang mendampingi kuasa hukum Setnov untuk menyampaikan surat keterangan sakit dari tim dokter RS Siloam ke KPK.

Sedangkan di jajaran pimpinan dewan, ada dua Wakil Ketua DPR, yaitu Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang kerap menjadi 'bemper' Setnov dalam urusan tertentu dan menghadapi kejaran awak media.


Foto: CNN Indonesia/Abi Sarwanto
Salah satunya seperti surat permohonan Setnov kepada KPK yang ternyata ditandatangani Fadli dengan dalih aspirasi dari Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai masyarakat biasa.

Beragam upaya Idrus dan Fadli maupun Fahri sebagai 'pengawal' dan menjadi bemper Setnov menuai kritik dari kalangan Golkar, parlemen, hingga lembaga swadaya masyarakat.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin yang melaporkan Fadli ke Mahkamah Kehormatan Dewan kemarin menilai, langkah Wakil Ketua DPR itu untuk meneruskan surat Setnov ke KPK sebagai bentuk menjatuhkan lembaga parlemen.

Karena melalui ‎Kesetjenan DPR dan ditandatangani Fadli, Boyamin menilai, surat itu artinya mewakili kelembagaan. Dalam arti lain, ada upaya mengintervensi proses hukum yang sedang berlangsung.

"Novanto kan punya lawyer, ‎dia punya kemampuan mengirim surat seperti itu," kata Boyamin kemarin.

Sementara, Ahmad Doli Kurnia menilai kehadiran Idrus dan beberapa pengurus di KPK untuk mengantar surat, telah menyeret Golkar sebagai lembaga ke pusaran kasus e-KTP yang melilit Setnov.

Dengan kondisi di atas, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, Setnov bisa menjadi batu sandungan politik, khususnya untuk Partai Golkar, akibat kasusnya tersebut. Apalagi, Golkar akan menghadapi gelaran Pemilu 2019.

"Kalau Golkar mau menang Pemilu 2019, maka jalan satu-satunya, pilih ketua umum yang baru," kata Pangi kepada CNNIndonesia.com.

Pangi menilai, Golkar butuh penyegaran untuk bisa menghadapi Pemilu 2019. Untuk itu, dibutuhkan ketua umum yang tak tersandera kasus hukum, relatif bersih dan punya kapabilitas.

"Kalau tidak, Golkar pesimis bisa menang Pemilu 2019," ujarnya.


loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.