Agenda Terbesar Prabowo Dan Tomy Soeharto Dibalik Pilgub DKI 2017
loading...
Demokrasi Indonesia, tahun-tahun belakangan ini terasa sangat heboh sekali, semenjak kemunculan sosok Jokowi dan Ahok, kehadiran mereka seakan-akan membangunkan kita semua untuk “melek” demokrasi, berhenti menutup mata dan mulai melangkah. Disaat yang sama, “kekuasaan” orde baru yang sangat dikecam oleh khalayak ramai seakan-akan sedang meniti kembali kekuatan, sembari mengisi amunisinya dan menunggu generasi-generasi baru yang muncul (yang belum pernah merasakan pahitnya orde baru) agar mudah dirangkul dan digerakkan, Cendana rela menunggu berpuluh-puluh tahun maka bola sementara diberikan kepada Cikeas agar menikmati masa-masanya selama 10 tahun untuk berkuasa sambil menunggu kesempatan yang tepat untuk memukul balik dan menguasai negeri. Waktu 10 tahun telah usai, Cikeas telah turun dari singgahsananya, “sempat kecolongan” oleh hadirnya Jokowi dan Ahok menjadikan PR berat bagi keluarga Cendana agar dapat kembali berkuasa di Indonesia.
Demikian pula kata-kata sugesti yang disampaikan oleh Titiek Soeharto dalam sambutannya di peringatan 51 tahun Supersemar, 11 Maret lalu di Masjid At-Tin.
Kini, setelah hampir 20 tahun reformasi berjalan, tidak membuat bangsa ini menjadi lebih baik. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin jauh. Dekomrasi kebablasan dan setiap orang bisa berkata dan berbuat seenaknya tanpa mengindahkan norma-norma yang ada.
Menurut Titiek, keadaan itu ternyata menimbulkan ketidak-nyamanan di berbagai tempat, sehingga sekarang banyak rakyat mulai berkata, ‘Enak Zaman Pak Harto’. “Akhirnya ingatan saya kembali pada kata-kata Pak Harto waktu itu, bahwa sejarah akan membuktikan apa yang sudah Bapak dan Ibu perbuat untuk bangsa ini. Begitu banyak rakyat saat ini yang rindu dan mendoakan Pak Harto,” kata Titiek.
Karena itu, lanjut Titiek, ia mengajak semua rakyat untuk melanjutkan perjuangan Pak Harto dalam membangun dan menyejahterakan bangsa Indonesia. Mengembalikan kinerja demokrasi yang kebablasan itu, seraya berdoa dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar diberi kekuatan lahir batin dalam menghadapi cobaan, dijauhkan dari malapetaka dan rakyat segera diangkat dari kemiskinan dan kebodohan.
Sambutannya sangat sarat akan sugesti bahwa rakyat merindukan sosok Soeharto, bagaimana memuaskan rakyat yang rindu terhadap sosok tersebut? Tak lain dan tak bukan adalah sosok yang memiliki gen dan satu darah dengan Alm. Soeharto, yaitu salah satunya Tommy Soeharto. Mengapa Tommy? Ya, penulis hanya teringat itu saja ketika menulis.
Titiek Soeharto dan Prabowo
Kita semua mengetahui, walaupun keduanya (Titiek dan Prabowo) telah berpisah namun tak dapat dipungkiri bahwa keduanya masih sering mengumbar kasih dan sayang, hal ini jelas terungkap saat Titiek menyambut Prabowo dalam acara tersebut (peringatan Supersemar ke-51), lebih jauh lagi kita melihat kebelakang bahwa Titiek adalah sosok yang selalu mendukung Prabowo ketika Prabowo maju di Pilpres 2014.
Sebagai kedua sosok (Prabowo dan Tommy Soeharto) yang dikenal sebagai Cendana, maka mungkin awalnya sulit digambarkan jika Prabowo dan Tommy akan berpasangan di Pilpres 2019, namun garis tengah mereka ada pada sosok Titiek Soeharto. Pada saat-saat ini, Prabowo tengah fokus mengkampanye-kan Anies dan Sandi untuk memenangkan Pilgub DKI 2017, ini menjadi cikal bakal yang kuat meraih posisi RI 1 (jika ibu kota telah berhasil dikuasai), hal ini jelas terungkap dengan orasi Prabowo lalu ketika menargetkan Anies-Sandi menang di DKI jika ingin melihat Prabowo maju di Pilpres 2019. Sementara, Tommy sudah memulai start duluan, berbagai partai dan ormas pendukung sudah ber-koar-koarmemajukan Tommy di Pilpres 2019, mungkin ini hanya pengalihan, jika keinginan mereka Tommy menjadi Capres dan bukan Cawapres, namun tidak ada yang bisa sangka jika manuver dilakukan sementara mereka telah mengumpulkan suara dari dini, mengenai posisi Capres atau Cawapres itu adalah hal yang mudah, yang terpenting adalah suara terkunci.
Dukungan serupa juga telah dilontarkan oleh beberapa politisi dengan kata-kata magis-nya, sarat sugesti akan sosok Soeharto yang membuat kita kembali benar-benar berpikir, benarkah sosok Tommy Soeharto layak memimpin Indonesia?
Di zamannya, figur Pak Soeharto adalah seorang pemimpin yang banyak membicarakan pembangunan,” kata Anies. (sedangkan Anies sendiri menyindir Ahok yang hanya fokus terhadap pembangunan)
“Jelas ya Supersemar, kita diselamatkan dari komunisme adalah satu fakta yang enggak bisa terbantahkan. Bahwa ada kemajuan-kemajuan ekonomi, itu juga jelas,” kata Fadli, Sabtu. “Saya kira tidak ada manusia yang sempurna. Apa yang baik dari pemimpin terdahulu, kita ambil. Yang kurang baik, kita tinggalkan. Begitu saja,” tuturnya.
Bahkan, ucapan serupa juga dilontarkan salah satu peserta acara yang juga Wakil Ketua DPRD DKI JakartaAbraham “Lulung” Lunggana. “Saya cukup bangga dan mengapresiasi Mas Tommy, calon pemimpin bangsa,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Ada Anies dan Fadli Zon disana yang turut membanggakan sosok Soeharto dan berujung pada ingin hadirnya sosok Soeharto, mungkinkah Anies dan Zon menghianati Prabowo? Rasanya sangat tidak mungkin, yang paling mungkin adalah jika mereka (Prabowo dan Tommy) akan maju bersama. Tidak hanya itu, secara parlemen ruangan (istilah Fahri Hamzah) telah saling menyatukan kekuatan, maka parlemen jalanan tidak lupa dirangkul, maka tidaklah heran jika kemarin-kemarin terlihat kemesraan antara Tommy Soeharto dan FPI (Rizieq), peran FPI disini tidak kalah penting, peran mereka adalah menggembor-gemborkan bahwa kebangkitan PKI sudah dekat dan bahkan sudah muncul dimana-mana, dengan begitu pengukuhan Supersemar ke-51 kemarin merupakan ajang yang pas untuk meyakinkan masyarakat bahwa karena Supersemar maka komunisme atau PKI bisa dikalahkan, mind set masyarakat yang sangat mewaspadai PKI akan mudah digiring untuk menyukseskan dejavu pemerintahan yang diraih lewat manipulasi Supersemar.
Prabowo Subianto & Tommy Soeharto di Pilpres 2019? Mungkin saja (sangat mungkin).
sumber
loading...
Tidak ada komentar: