Terbongkarnya 4 Gerakan Anti Jokowi

loading...





seword.com Banyak yang tersulut. Penyataan Jenderal Gatot Nurmantyo membuat berbagai kelompok kaget. Miris. Takut. Khawatir. Cemas. Salah tingkah. Institusi Polri, Menhan, Menkopolhukam semua bersahut-sahutan memberikan pernyataan. Namun, Presiden Jokowi dan organ kekuatan utamanya NU dengan aman nyaman tidak bergeming. Apa maknanya? Pancing telah termakan ikan. Kini saatnya publik melihat catatan hasil dari memancing itu.

Signal NU

Publik tidak paham bahwa organisasi massa paling cerdas di Indonesia, NU, tidak bergeming. Diam. Mengamati. Karena NU tahu dan paham situasi politik. NU tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban dan pemain seperti masa 1965-1967.


NU dengan kesadaran nasionalisme yang menggelegak pernah menjadi korban perang kepentingan False Flag atau proxy atau sekedar perang kepentingan terselubung. Untuk itu NU tampil cool and in style dalam menghadapi kondisi politik nasional menjelang tahun Pilpres 2019.

Sikap NU ini tampak sekali sedang menunggu reaksi ormas lainnya. NU sangat memahami siapa dan bagaimana ekskalasi dan konstelasi politik di Indonesia. Maka sikap sabar menunggu itu adalah alasan cerdas yang tak mudah disusupi dan dijadikan alat untuk mendelegitimasi pemerintahan dan menciptakan kegaduhan yang tidak produktif. NU bahkan berseberangan dalam berbagai peristiwa politik selain yang sekarang ini.

Dalam kasus kisruh politik terhebat terakhir terkait politisasi Islam dan kriminalisasi terkait Pilkada DKI, tampak jelas peran Muhammadiyah yang bersatu-padu dengan FPI, FUI, HTI, dan sebagainya. Warna politik dalam diri Muhammadiyah dan juga aksi politis Pemuda Muhammadiyah sangat kentara yang diperankan oleh Simanjuntak, mengikuti mentornya si mulut manis Din Syamsuddin.

Dus, politik NU adalah politik rahmatan lilalamin. Maka menonton reaksi dan aksi NU adalah menjadi salah satu barometer politik yang sesungguhnya. Ada clue di dalamnya. Jadi pijakan itu tetap ada dan tentu the Operators dan the Supreme Operator memiliki standarisasi dan variable tertentu dalam mengatur strategi untuk melayani bangsa dan negara.


Dan, hikmah pun terpetik dengan manis. Ikan-ikan itu telah makan umpan dan kail. Kail telah dimakan ikan bahkan ikan bergerombol meloncat naik ke permukaan ketika persiapan memasang umpan di kali tengah dilakukan.

Islam Radikal

Bahwa yang menjadi pelaksana lapangan berbagai aksi adalah memang para penyokong gerakan Islam radikal. Mereka terafiliasi dalam berbagai kelompok seperti pengajian, majelis taklim, organisasi binaan khusus mereka. Yang bermain di sini masih selalu sama seperti GNPF – (MUI) yang pernah ditunggangi FPI dan Islam radikal, FPI tentu, FUI dan HTI.

Kelompok ini berkembang dan bekerja secara sistematis dengan memanfaatkan jaringan mirip LML atau MLM, atau apapun namanya. Mereka pun aktif menggunakan media sosial sebagai sarana propaganda,agitasi, persekusi, dan aneka pelintiran berita.

Contoh faktual adalah kalangan pengikut demo nomor togel yang memberitakan berita fitnah terkait isu 5000 senjata dengan mengembeli nama Jokowi. Ini senjata sesungguhnya gambarnya bukan penyelundupan namun dari Iran. Tindakan menipu publik dengan hoax pun mereka lakukan sama dengan si Tifatul Sembiring orang partai agama PKS itu.

Prabowo dan SBY

Dalam konteks Jenderal Gatot Nurmantyo tentu secara gegap gempita Prabowo mendukungnya. Pertemuan pun dilakukan di Mabes TNI Cilangkap dengan para purnawirawan. Di situlah reuni dan gambaran tentang kekuatan politik seperti tengah dipertontonkan. Prabowo masih dianggap sebagai kekuatan politik yang dominan – walaupun sesungguhnya dia dalam keadaan limbo. Dia bukanlah representasi kekuatan politik yang sesungguhnya pula.

Penyambutan Prabowo ini begitu transparan ingin mengaduk politik. Ingin mengambil peran dan penghargaan bagi kalangan militer – yang masih aktif, dan yang tidak aktif. Dia pun menyadari secara di permukaan tentang kegagalan Kivlan Zen mengaduk isu kebangkitan PKI yang justru membuat manusia seperti Arief Poyuono kelepasan omongan tentang serangan kepada PDIP.

Melihat gelagat politik yang demikian serta-merta SBY bungkam. Bungkamnya SBY ini untuk tidak memberi kesan militerisme, yang tengah bermain dan bermanuver politik, kentara nyata. Hal ini disebabkan oleh dikotomi militer dan sipil masih sensitif di tengah masyarakat.

SBY tentu sangat paham dengan isu kebangkitan PKI yang digemborkan maka rakyat akan kembali menengok supremasi militer dalam politik di Indonesia. SBY pun memahami terlalu banyak militer masuk akan membuat posisi Agus terasa sulit.

Pengusaha, Mafia, dan Koruptor

Dalam setiap kisruh selalu ada pendana yang bermain. Tanpa uang gerakan tidak akan jalan. PPATK tengah menguliti aliran dana level 2 atau 3, selain dana langsung seperti Asma Dewi, Sri Rahayu Ningsih, dan pelibatan para pengusaha, mafia dan koruptor.

Maraknya demo-demo terkait apapun soal Ahok-lah, Rohingya, Palestina, atau bahkan demo mendukung nonton bareng film G 30 S PKI selalu dilakukan upaya penggalangan dana. Pengumpulan dana ini menjadi energi bagi mereka yang bergerak di lapangan.

Contoh nyata adalah demo yang dibiayai oleh tersangka makar Rachmawati. Uang Rp 300 juta yang dirancang untuk gerakan tersebut. Mana ada hanya mengantar petisi ke DPR dengan biaya Rp 300 juta yang diberikan melalui Alvin Indra. Nah, duitnya dari siapa? Rachmawati sendiri?

Kisruh kampanye fitnah Saracen dalam Pilkada DKI yang sukses mengantarkan Anies dan FPI ke tampuk kekuasaan, dan sebelumnya yang akarnya yakni Obor Rakyat, pun dibiayai oleh para koruptor, mafia, dan teroris. Tingkah laku dan praktek mereka sungguh memuakkan dan mengancam eksistensi NKRI.

Kenapa mereka membiayai demo dan aksi kerusuhan? Tujuannya adalah untuk melemahkan Jokowi. Demo yang terus-menerus menguras energi bangsa dan negara. Kerusuhan adalah alat untuk mengembalikan peran mereka merampok uang rakyat, merampok kekayaan negara untuk kepentingan diri dan golongan mereka.

Menggunakan DPR

Bahkan dalam setiap kisruh, DPR yang bukan mewakili rakyat, memainkan peran mereka. Kasus paling top sekarang terkait senjata api, DPR bak pahlawan kesiangan tampil memanggil dua institusi Menhan dan Panglima TNI untuk klarifikasi. Hal yang tidak perlu. Namun DPR memaksakan peran tersebut karena adanya kepentingan remote, jarak jauh dan dekat, yang menggerakkan mereka.

Tak hanya kasus ini, bahkan tanpa malu ketika para anggota DPR dijadikan tersangka dalam kasus skandal korupsi besar E-KTP, maka mereka membentuk Pansus KPK. Tindakan ini jelas menjadi bahan tertawaan orang waras. Namun, kenekadan mereka tidak akan membuahkan hasil apapun.

Otak Gerakan

Nah, ini yang menarik. Lalu dalam semua gerakan anti Jokowi itu, siapakah atau apakah yang menggerakkannya? Sebetulnya publik akan dengan mudah menunjuk ormas, organisasi, partai, atau pun individu yang menjalankannya.

Untuk menemukannya mudah saja. Motif semua gerakan adalah menurunkan atau menjatuhkan atau menyingkirkan Jokowi dari tampuk kekuasaan,cepat atau lambat harus. Dua periode akan terlalu lama dan pijakan Jokowi akan menguat. Lalu siapa yang berkepentingan?

Bagaimana dengan individu? Jelas di balik organisasi, ormas, gerakan, demo, semuanya ada muaranya: ada titik akhir. Titik akhir itu adalah kekuatan. Sementara kekuatan itu artinya uang. Jadi yang memiliki uang akan memiliki kekuatan. Tanpa dukungan kekuatan uang, calon penguasa politik, tidak akan berhasil.Tanpa dukungan uang, politikus busuk dan apkiran tak akan berhasil.

Sekedar contoh, politikus apkiran seperti SBY bisa naik ke kekuasaan karena dukungan dari pengusaha kuat. Saat itu ada mafia Petral, Riza Chalid. Dan selama 10 tahun kekuasaan, semua menteri diseleksi oleh Hatta Rajasa yang karib Reza Chalid.

Terbaru, Gubernur SARA atau RAISA Anies pun tak bakalan naik kalau Sandi Uno, alias ASU, tidak menggelontorkan uang. Pun dukungan Aksa Mahmud dan Erwin Aksa dan Jusuf Kalla, serta Hatta Rajasa dan kawannya yang di Singapura Riza Chalid, membuat Anies dan FPI naik ke tampuk kekuasaan di DKI Jakarta.

Sikap Jokowi

Sesungguhnya, dalam mengamati suatu peristiwa politik, suatu aksi dan reaksi akan menunjukkan esensi dan arah dari penciptaan peristiwa itu sendiri. Reaksi seperti Setara Institute itu adalah hal yang wajar dan normatif.

Tentu Presiden Jokowi sudah mengambil langkah strategis yakni dengan mengembalikan asal informasi kepada Jenderal Gatot Nurmantyo yang telah mengakui membuat pernyataan, namun bukan untuk konsumsi publik. Itu sah. Lalu pernyataan Wiranto. Itu juga sah dan meyakinkan. Seterusnya, DPR pun memanggil itu pula, sah dan meyakinkan tentu. Terus?

Jokowi tidak perlu membuat pernyataan apa pun. Sudah didapatkan esensinya. Kail sudah dimakan oleh ikan dengan lahapnya, meskipun tanpa umpan.


Tinggal tunggu awal tahun depan sampai 6 bulan ke depannya ketika sudah lahir seorang penting bergelar Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Dan di sana masih ada satu lagi bernama Jenderal Moeldoko. Di situlah Jokowi akan mengambil sikap, namun dengan perhitungan tentu kekuatan para partai dan faktor Jusuf Kalla. Demikian the Operators. Salam bahagia ala saya.


loading...

1 komentar:

  1. HANYA DENGAN BERMAIN KALIAN BISA MENDAPATKAN UANG BANYAK
    HANYA ADA DI #KELINCI99. . . BURUAN COBA KEBERUNTUNGAN KALIAN

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.