KPK Punya Peluang Kembali Tetapkan Setya Novanto Sebagai Tersangka
loading...
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Setya Novanto.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan sidang praperadilan yang mengugurkan status tersangka Setya Novanto dalam kasus KTP elektronik sudah diprediksi sebelumnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, mengatakan kejanggalan dalam proses persidangan turut menguatkan bahwa jalannya Praperadilan tidak dalam kondisi ideal.
Beberapa kejanggalan dari sisi proses di antaranya;
Pertama, hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara.
Kedua, penasehat hukum Setya Novanto yang membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket.
Dua hal tersebut seharusnya menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan Praperadilan.
Meskipun Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa terhadap putusan Praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
"Namun, peraturan yang sama memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan," kata Miko dalam keterangan tertulinya, Sabtu (30/9/2017).
Begitu juga KY, dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim.
"Karena itu, MA dan KY seharusnya memberikan respons terhadap putusan Praperadilan ini," ujarnya.
Dari sisi substansi, satu pertimbangan yang mencolok adalah ketika hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain.
Pertimbangan ini, menurutnya, bermasalah karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja.
"Apabila logika ini digunakan, maka tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain," katanya.
Berikutnya pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Setya Novanto tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan.
Hal ini menurut hakim menyimpang dari Pasal 44 UU KPK.
Padahal, menurut dia, jika dirunut penetapan tersangka terhadap Setya Novanto dilakukan melalui pengembangan kasus yang kesimpulannya telah diperoleh minimum 2 alat bukti yang sah untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.
"Karena itu, KPK sah saja menetapkan SN sebagai tersangka sepanjang memiliki kecukupan alat bukti, yaitu minimal 2 (dua) alat bukti sah," katanya.
Lanjut dia, perlu diluruskan bahwa Praperadilan Setya Novantobukan merupakan pemeriksaan pokok perkara.
Praperadilan Setya Novanto hanya menguji apakah penetapan tersangka terhadap dirinya sah atau tidak.
Hakim dalam konteks ini menurut Perma No. 4 Tahun 2016 hanya menguji "aspek formil" dari minimal dua alat bukti yang sah.
Penentuan bersalah atau tidaknya Setya Novanto nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara.
"Artinya, putusan Praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana," katanya.
Menurut dia, hal ini penting menjadi catatan bagi Panitia Khusus Hak Angket untuk tidak mengaitkan putusan Praperadilan Setya Novanto dengan laporan dan rekomenasiya kelak.
Putusan praperadilan Setya Novanto menurutnya menyangkut "aspek formil" sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya, bukan aspek substansi apakah Setya Novanto bersalah atau tidak bersalah.
Dugaan tindak pidana yang dilakukan Setya Novanto tidak secara otomatis gugur.
Karena itu, peluang bagi KPK untuk menetapkan kembali SN sebagai tersangka masih sangat terbuka.
Hal mana telah dinyatakan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016.
"Sepanjang KPK masih memiliki paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah, KPK masih tetap dapat menetapkan SN sebagai tersangka," katanya.
Menurut dia, apabila KPK menetapkan Setya Novanto kembali sebagai tersangka, seharusnya KPK segera merampungkan pemeriksaan dan melimpahkan perkara tersebut untuk segera disidangkan.
loading...
Tidak ada komentar: