Main Sweeping, FPI Punya Otoritas Apa?

loading...



Lagi, ormas FPI melakukan tindakan sweeping menjelang hari raya natal. Kali ini, FPI mendatangi mall-mall yang memasang atribut natal di daerah Surabaya, Yogyakarta dan Bekasi. Sweeping yang dilakukan oleh ormas yang kerap bertindak keras ini didasari atas fatwa MUI bahwa atribut natal hukumnya haram. Menanggapi soal ini, Kapolri Jenderal Tito Karnavian memperbolehkan jika FPI melakukan sosialisasi namun tidak dengan sweeping yang disertai kekerasan. Jika ada kekerasan, kepolisian tidak akan segan menindak ormas tersebut.

Sebagai organisasi massa, sebenarnya FPI tak punya otoritas melakukan sweeping. Itu ditegaskan oleh Kabid Humas Polda Metro Jaya yaitu Kombes Agus Yuwono bahwa tidak ada pihak yang berhak melakukan sweeping atau razia kecuali kepolisian dan pemerintahan. Jika merujuk pada statement Pak Agus, tentu bisa dikatakan bahwa FPI telah melampaui otoritasnya sebagai ormas. Mereka kerap mendatangi tempat-tempat hiburan untuk razia. Bahkan tidak jarang disertai dengan pengrusakan tempat-tempat yang mereka datangi. Tak heran jika aksi-aksi FPI kerap disebut sebagai premanisme berjubah agama. Melampaui otoritas seharusnya mendapatkan sanksi hukum.

Di samping tindakan main hakim sendiri yang dilakukan FPI terhadap atribut natal, fatwa MUI yang dijadikan landasan sweeping juga patut dipertanyakan. Apakah fatwa-fatwa MUI termasuk menyangkut atribut natal wajib diikuti oleh umat muslim? Mengutip pernyataan Prof. Sumanto Al Qurtuby bahwa MUI sama seperti ormas agama yang lain yaitu Muhammadiyah dan NU. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI bisa disebut fatwa karena sudah melalui departemen Fatwa.

Fatwa secara umum merupakan pendapat seorang yang memiliki kualifikasi sebagai mufti terhadap suatu permasalahan yang digali dari hukum Islam. Siapapun yang bergelar mufti bisa mengeluarkan fatwa. NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di nusantara juga memiliki departemen fatwa yang sering mengeluarkan fatwa yang berseberangan dengan MUI. Jadi Umat Islam boleh memilih fatwa dari ormas mana yang dijadikan rujukan dalam menyikapi suatu fenomena. MUI bukan satu-satunya lembaga yang fatwanya harus diikuti oleh Umat Islam. Maka berbekal dari penjelasan ini, sweeping FPI untuk menerapkan Fatwa MUI merupakan bentuk pemaksaan terhadap Umat Muslim sekaligus menciderai kebebasan umat muslim untuk memilih fatwa yang hendak diikuti.

Dilihat dari rekam jejak atau track record FPI, ormas bergaris keras ini memang sering melakukan aksi-aksi yang mengarah pada tindakan vandalisme. Bukan hanya organisasinya, sang Imam Besar yaitu Habib Rizieq sempat dihukum 7 bulan penjara karena dituduh telah menghina kepolisian lewat acara di 2 stasiun televisi swasta pada tahun 2003. Di tahun 2006, massa FPI melakukan pengrusakan terhadap kantor majalah Playboy di Gedung ASEAN Aceh. Insiden ini menyebabkan 2 orang aparat kepolisian terluka parah. Masih di tahun yang sama FPI terlibat bentrok dengan aparat polisi karena personel Polres Jakarta Pusat membubarkan konvoi motor FPI yang tidak berizin.


Selain itu, masih banyak lagi jejak kekerasan yang ditorehkan oleh FPI. Tidak sedikit umat Islam yang muak dengan kebrutalan-kebrutalan yang dilakukan FPI. Selain anti dengan hal-hal yang dianggap maksiat oleh mereka, FPI juga sangat anti dengan organisasi atau kumpulan yang berbeda haluan. Ini tampak ketika FPI melayangkan intimidasi terhadap JIL (Jaringan Islam Liberal) yang bermarkas di Utan Kayu. FPI juga tercatat pernah merusak rumah tempat berkumpulanya aliran Wahidiyah yang mereka anggap sesat.

Tak hanya bersikap keras terhadap pandangan yang bertetangan, bahkan FPI juga nampak anti dengan nasionalisme. Pada tanggal 1 Juni 2008, FPI juga menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang sedang memperingati Hari Kelahiran Pancasila di Monas. 57 anggota FPI ditetapkan sebagai tersangka termasuk Habib Rizieq.

Melihat serangkaian aksi premanisme, organisasi Islam terbesar di Indonesia yaitu NU tak sungkan meminta pemerintah supaya FPI segera dibubarkan saja. Said Aqil Miraj, Ketum PBNU meminta supaya FPI dibubarkan karena sudah mencoreng nama baik Islam. Islam dikenal sebagai ajaran yang toleran, antikekerasan, dan antiradikalisme. Bukan hanya NU, Muhammadiyah yang diwakili oleh Din Syamsudin bahkan menilai bahwa Insiden Monas merupakan kriminalitas yang nyata. Setali tiga uang, DPR juga menghimbau supaya pemerintah lebih baik membuabarkan FPI saja untuk meminimalisir tindakan kekerasan yang telah mereka lakukan.

Keberadaan FPI yang konon bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat Islam dan Umat Muslim sudah tak memenuhi kriteria. Sebaliknya, banyak umat Islam yang malu dengan sikap-sikap anarkis yang ditunjukkan FPI. Mereka tak merasa diwakili oleh FPI. Apa yang telah dilakukan FPI terhadap atribut natal selain menciderai toleransi juga berpotensi memicu perpecahan antar umat beragama. Sebagai organisasi yang bernaung di bawah bendera agama Islam, semestinya FPI menunjukkan sikap cinta damai dan mengayomi minoritas. Namun yang terjadi malah sebaliknya.

Sweeping-sweeping ormas adalah tindakan yang melampaui otoritas. Jika tujuan mengangkat martabat umat Muslim tak lagi dipenuhi, tokoh-tokoh Islam non FPI sudah berseberangan dengan FPI serta pemerintah juga berencana membubarkan FPI, masih perlukah eksistensi FPI?

Salam toleransi






loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.