Nalar FPI yang Sekarat dan Berkarat!

loading...



Seorang Ahok memang tak bisa lagi dianggap sebagai sosok biasa. Dia memang pada dasarnya fenomenal dan ada begitu banyak yang kecipratan “tenar” mendadak karena ada hubungannya dengan Ahok, baik langsung maupun tak langsung. Tetapi sungguh disayangkan bahwa “ketenaran” itu juga disertai dengan penyematan embel atau kategori tertentu. Ada yang karena ketulusannya mendampingi serta mendukung Ahok dalam usahanya untuk benar-benar menjadi tokoh revolusioner yang menjadi pengabdi rakyat khusunya DKI dan mewujudnyatakan kewajibannya untuk mengadministrasi keadilan sosial; ada pula yang “numpang tenar” karena menjadi sosok antagonis seorang Ahok.

Telah kuduga sebelumnya seperti peristiwa-peristiwa yang telah berlalu bahwa ada saja argumen tak berdasar dari orang maupun kelompok tertentu yang secara sengaja atau tidak menodai demokrasi dan bahkan mengangkangi hukum. Prinsipnya: yang penting hal itu menyangkut Ahok, dia harus menderita, dipojokkan, dihina, dibenci dan bila perlu dihukum. Nyatanya selama ini, Ahok telah menjalani hukuman tersebut setidaknya secara psikis.

Satu hal yang pasti bahwa ketika seorang Ahok masuk dalam kancah politik di DKI Jakarta sejak sebagai kandidat Wacagub yang mendampingi Cagub Jokowi pada Pilkada 2012 silam, ia telah mendapat banyak tantangan dan bahkan ancaman serius. Berbagai cercaan, intimidasi, serangan politis yang tak pelak pula masuk ke ranah SARA sudah menjadi hal biasa. Sesekali dia berseloroh bahwa hal-hal semacam itu telah menjadi bagian dari perjalanan karier politiknya.

Satu hal lain yang tak kalah menariknya adalah sosok perorangan dan/atau yang mewakili suatu kelompok atau ormas yang tak mau ketinggalan kereta. Mendengar nama FPI saja bagaikan suara bising dan hingar bingar di siang bolong yang membuat siapapun bisa saja mengumpat sambil menutup telinga. Seyogianya FPI yang adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam mestinya mengedepankan nila-nilai keislaman yang sebenarnya. Tetapi yang ada justru sebaliknya, mempertontonkan sebuah organisasi tanpa nilai kebajikan dan lebih menekankan arti kenajisan! FPI bukan lagi sebagai Front Pembela Islam tetapi lebih tepatnya Front Penghancur Islam.

Sejarah Singkat FPI serta Visi/Misinya

Saya lampirkan juga disini mengenai keberadaan ormas yang lagi “naik daun” ini. Sejarah singkat yang ditampilkan memang terlampau singkat sampai tak menyertakan alasan di balik pendirian atau pembentukannya. Masih begitu banyak ruang yang menyisakan titik titik semu yang bisa mengindikasikan sepak terjang ormas yang acapkali mengatasnamakan agama untuk membenarkan aksi-aksinya selama ini. Demikian yang disajikan dalam situs www.fpi.or.id seperti berikut ini:

Sejarah Singkat: “Organisasi FPI untuk pertama kalinya dicetuskan di Petamburan – Jakarta dan dideklarasikan secara terbuka di Pondok Pesantren Al-Umm – Ciputat – Tangerang pada tanggal 25 Robi’uts Tsani 1419 Hijriyyah bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1998 Miladiyyah, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya. Pusat Organisasi ini berkedudukan di Jakarta.”


Visi dan Misi organisasi FPI adalah “penerapan Syariat Islam secara Kaaffah di bawah naungan Khilaafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan Da’wah, penegakan Hisbah dan Pengamalan Jihad.”

Mengawal Persidangan Kasus Ahok

Persidangan kedua dengan status terdakwa yang menimpa Ahok yang dilaksanakan kemarin di PN Jakarta Pusat, Jl. Gadjah Mada tidak lepas dari beberapa hal yang “unik”. Betapa tidak bahwa dalam persidangan kali ini, Hakim menolak eksepsi Ahok bersama para pembelanya dan menyatakan bahwa kasus ini dilanjutkan pada tahap berikutnya. Untuk hal ini, kita hormati keputusan sang Hakim.

Penulis hanya mempertanyakan atau tepatnya merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota FPI dan juga GNPF yang merasa belum puas; bahkan mereka mulai mengomentari keputusan untuk memindahkan tempat persidangan ke Auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Alasan mendasarnya pemindahan tersebut yakni keamanan dan tempat yang lebih luas untuk mengakomodasi lebih banyak peserta yag mengikuti persidangan nanti.

Berita Liputan6 memberitakan pernyataan Novel Bamukmin sebagai Sekjen Dewan Syuro DPD FPI Jakarta: “Kita keberatan terhadap pengistimewaan sidang Ahok. Karena tidak ada selain sidang Ahok yang ditempatkan di suatu tempat khusus.” Bahkan lebih lanjut dia seakan memberikan peringatan dini: “Di mana pun sidang digelar, kita prinsipnya akan mengawal. Kita akan mengerahkan massa lebih banyak lagi.”

Yang membingungkan penulis adalah pernyataan yang terakhir dengan dalil untuk mengawal jalannya persidangan dan akan mengerahkan massa (pengacau?) lebih banyak lagi. Tak pelak lagi, ini sudah berlebihan. Banyak yang telah muak melihat sikap keangkuhan dan metode pembenaran seperti ini. Seakan spirit demokrasi melegitimasi segala bentuk kebebasan, yang mana pada titik tertentu justru meraih titik didih kebabalasan!

Di sinilah penulis hanya bisa bergumam… FPI dan/atau yang sekerangkeng dengannya telah memperlihatkan kepada publik Indonesia dan dunia betapa nalarnya telah mencapai level sekarat dan berkarat!

Teriring salam melumasi nalar yang sekarat dan berkarat!





loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.