Agus H.Yudhoyono: Hidup Enggan, Mati pun tak Mau

loading...



Kalau saya tak salah ingat bahwa cagub nomor urut 1 atas nama Agus H. Yudhoyono merupakan kandidat “dadakan” dalam ajang Pilkada DKI saat ini. Yang ingin saya katakan disini bahwa dia diketahui publik untuk mencalonkan diri dan/atau dicalonkan justru pada menit-menit terakhir penutupan daftar cagub-cawagub DKI periode 2017-2022. Hal ini jelas untuk menepis semua tanda tanya besar di benak banyak orang dan tentunya tak terkecuali di kalangan elit politik di Tanah Air. Penulis yakin bahwa banyak pula yang mengerutkan dahi sembari bertanya: eehhh siapa dia? Belum pernah dengar sebelumnya! Paling banter kenal nama yang mengekor tuh… (cukup tiga titik saja ya).

Sadar atau tidak bahwa kehadiran seorang Agus Yudhoyono di kancah politik DKI saat ini menjadi pusat perhatian banyak orang, baik di kalangan masyarakat kebanyakan maupun para politikus. Sepertinya ada yang “luar biasa” dalam pencalonannya atau paling tidak kehadirannya menggugurkan ambisi beberapa tokoh antara lain seperti: Yusril I. Mahendra, Hasnaeni Moein (Wanita Emas), Adhyaksa Dault, Ahmad Dhani yang telah lama mengambil ancang-ancang untuk memperebutkan kursi DKI 1. Tak mengherankan bahwa dalam acara yang diprakarsai Mata Najwa pada 12 Oktober lalu, Agus mendapat banyak pertanyaan terkait pemilihan dirinya oleh ke-4 partai pengusung: Partai Demokrat (PD), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah pimpinan Romahurmuziy (karena PPP di bawah pimpinan Djan Faridz telah menyatakan dukungannya untuk paslon nomor 2), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Ada begitu banyak opini publik mengenai debat “tunggal” seorang Agus di Metro TV dalam acara Mata Najwa. Sangat jelas kelihatan bahwa Agus belum begitu siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan Najwa yang kadang menusuk untuk mencari kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah juga yang sedang menari-nari di benak publik terutama soal pencalonannya dan juga sekilas pandangan serta gambaran Agus mengenai politik di Tanah Air dan khususnya di DKI Jakarta.

Disini, publik sendiri yang bisa menilai mengenai penampilan perdana Agus. Bagi penulis sendiri, dari “gertakan” awal tersebut sudah ada percikan-percikan yang mengindikasikan bahwa ada begitu banyak hal yang hanya menyerupai titik titik… Mangkirnya Agus maupun Agus-Sylvi pada 2 acara debat baru-baru ini semakin memperpanjang titik titik yang ada.

Dilema seorang Agus

Kita ketahui bersama bahwa keputusan seorang Agus untuk meninggalkan dini karirnya di militer demi politik adalah sesuatu yang dianggap serius bagi banyak orang. Seperti yang dilansir berbagai berita hangat seputar sosok yang saru ini, Jenderal Gatot Nurmantyo sendiri bahkan membuka suara dan mengatakan kepada publik mengenai kepribadian dan karier gemilang Agus. Dia merupakan yang terbaik di kelasnya. Tetapi atas apa yang terjadi sekarang, tak seorang bisa memaksanya untuk bertahan manakala ia mengejutkan banyak pihak dengan keputusannya untuk “pensiun” muda dan beralih ke kancah politik.

Pilihan ini bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini bukan berarti bahwa karir di bidang yang satu ini, sebagai kepala daerah di DKI lebih ringan dibandingkan dengan militer. Masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangannya tersendiri. Di sinilah bisa menjadi dilema bagi seorang Agus maupun Sylvi serta para pendukung mereka. Bahkan Agus sendiri mengakuinya seperti yang dilansir media liputan6: “Antara perang militer dan perang politik. Kalau perang militer musuhnya biasanya jelas dan biasanya lokasinya di depan kita, sementara di dunia politik, musuh tidak jelas. Bisa di belakang kita, di depan, di samping, atau di dekat kita sekali. Kita kira lawan, ternyata kawan. Atau sebaliknya. Jadi memang luar biasa kompleksitasnya.”

Ia memang menyadari bahwa pilihan untuk “alih profesi” ini, di satu sisi adalah pilihan yang sangat berat tetapi di sisi lain adalah pilihan yang menantang terutama jiwa kemiliterannya. Musuh di kancah politik sungguh sulit ditebak soal siapa dan dimana dia berada. Sudah barang tentu bahwa antara sipil dan militer adalah dua institusi dan “dunia” yang berbeda yang mana masing-masing menuntut pendekatan yang berbeda pula. Sang wakil, Sylvi bisa diandalkan tetapi peran sang “kapten” tetap menjadi penentu dalam berbagai keputusan maupun kebijakan penting ke depan.


Seakan untuk menghibur dirinya, Agus mengatakan bahwa dia juga memiliki modal untuk bertarung di bidang politik terutama di Pilkada DKI saat ini. “Saya punya pengalaman di pendidikan latihan tugas operasi, baik di dalam maupun luar negeri. Misi perdamaian dan lainnya. Insya Allah dapat bermanfaat bagi saya selanjutnya.” Hhmmm… sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa militer dan sipil itu berbeda bang! Dalam hal tertentu bisa saja membantu tetapi kalau hanya mengandalkan beberapa “kehebatan” di dunia militer, mestinya anda lanjutkan saja karir disana. Toh anda adalah salah satu yang terbaik!

Ada satu hal yang sangat menggelitik disini bahwa Agus sama sekali tidak memperhitungkan sang wakil: Sylvi. Seakan dia bertarung sendiri dan tentunya ingin menang sendiri dan disoraki sebagai pahlawan. Sungguh suatu kesalahan besar yang semestinya perlu dicermati dan diubah. Ini masukan ya buat Tim Pemenangan Agus-Sylvi.

Masih banyak yang meragukan kemampuan seorang Agus sebagai pemimpin DKI untuk masa bakti 2017-2022 mendatang karena minimnya pengalaman, apalagi kalau acuannya hanya pada diri sendiri, bukan sebagai tim. Disinilah Agus mulai mewaraskan logikanya sendiri dan menganggap wajar jika kemampuannya untuk mengurus Jakarta yang begitu kompleks dengan berbagai realitasnya dipertanyakan. “Saya selalu mencoba merefleksi walaupun sebentar. Sama yang ditanyakan apakah saya mampu. Karena saya tidak ingin menjadi orang yang tidak rasional, nekat,” demikian Agus mengakui dilema besar yang dihadapinya. Hhhmmm… ibaratnya: “Hidup enggan, mati pun tak mau!” Militer telah ditinggalkan, polititk pun menuai dilema.

Prestasi gemilang di satu bidang tertentu maupun dari segi akademik tidak serta merta menjadikan seseorang sukses dalam karir di dunia politik. Mungkin bagi sebagian orang, hal itu bukanlah mustahil. Salah satu contoh yang sangat jelas dan tak terbantahkan adalah sang Menteri Kelautan dan Perikanan: Susi Pudjiastuti. Dedikasi, pengorbanan dan pendiriannya yang kuat mampu menaklukkan semua keraguan dan sindiran banyak pihak terutama menyangkut latar belakang pendidikan formalnya yang sangat minim. Apalagi bidang yang diembannya sungguh luar basa berat: menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia! sebagaimana yang tertuang dalam Nawacita Jokowi-JK. Ada satu bukti yang perlu dicatat: baru-baru ini dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causadari Undip. Sekali lagi, dia mendapatkan gelar terhormat karena jasa dan pengabdiannya!

Mencermati situasi terkini yang sedang dilakoni sang Cagub nomor urut 1, ibaratnya sudah terlanjur basah biar mandi sekalian. Karir militer telah tertutup sebagai “pensiunan” dini, kancah politik menantinya dengan kompleksitasnya apalagi di ibukota dengan berbagai dimensi kehidupannya yang terlalu rumit untuk dicarikan solusi “ajaib” nan “instan”. Bahkan, program Agus untuk memberikan bantuan 1 milyar per RW sudah mendapat keraguan publik karena adanya kesan bahwa jumlah ini cukup fantastis! Demikianlah yang disinyalir oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis minggu lalu, menurut harian Kompas: “Sekitar 50 persen warga tahu dan sebagian besar dari yang tahu tidak menilai positif janji kampanye Agus-Sylvi tersebut,” kata Dodi yang mewakili LSI.

Bertarung di DKI bukan hanya bermodalkan nekad dan niat baik. Integritas, pengetahuan (bukan hanya pendidikan formal ya!), keberanian, terobosan-terobosan serta pengalaman konkrit adalah modal yang sepatutnya ditawarkan. Mari pertaruhkan semuanya demi Ibukota kita, Jakarta yang kita idamkan bersama!

Teriring salam: untuk Jakarta yang kita idamkan bersama!





loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.