Jokowi Mau Tahu Penyebar Isu 10 Juta TKA Tiongkok, Ini Hasil Penelusurannya
loading...
Presiden Joko Widodo geram, begitu yang ditulis KOMPAS.com hari ini, Jumat 23 Desember 2016. Penyebabnya adalah menyebarnya isu serbuan tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok. Jumlah TKA asal Tiongkok yang menyerbu masuk Indonesia pun tidak tanggung-tanggung: 10 juta. Selanjutnya, Jokowi meminta pihak kepolisian untuk mengusut dan menindak penyebar isu ini.
Soal isu masuknya 10 TKA asal Tiongkok sebenarnya sudah ramai dibincangkan netizen lebih dari satu setengah tahun yang lalu, atau sekitar pertengahan Juni 2015. Kalau mau mengusut penyebar isu ini, Polri harus mengobok-obok Google sampai ke Juni 2015.
Pada pertengahan Juni 2015 isu yang beredar jauh lebih parah dari isu yang sekarang berkembang ini. Pada saat itu para penyebar isu meramaikan media sosial dengan isu tentang 10 juta warga Tiongkok yang akan berimigrasi dan menetap di Indonesia.
Apakah kedua isu 10 juta TKA asal Tiongkok berhubungan dengan isu migrasi 10 juta warga Tiongkok? Atau, isu yang berkembang sekarang ini merupakan plintiran dari isu yang disebarkan satu setengah tahun sebelumnya.
Kalau, kedua isu tersebut berkaitan atau hasil dari plintiran isu sebelumnya, maka Polri tidak usah capek-capek mengobok-obok Google. Sebab, isu migrasi 10 juta warga Tiongkok beserta terduga penyebarnyasudah dituliskan cukup lengkap dalam artikel “Soal Migrasi 10 Jt Warga Tiongkok, Ini yang Benar”yang ditayangkan pada 17 Juni 2015.
Bagaimana angka 10 juta menyebar? Media mana yang pertama kali diduga melakukan pelintiran. Klik saja artikel “Soal Migrasi 10 Jt Warga Tiongkok, Ini yang Benar”Dan menariknya, pemyebarnya “10 juta warga Tiongkok” diduga berasal dari situs berita arus utama yang cukup terkenal.
Isu masuknya 10 juta TKA asal Tiongkok ini kembali menghangat belum lama ini. Isu ini digoreng dengan berbagai bumbu penyedap. Antara lain, penjajahan Tiongkok atas Indonesia, bangkitnya komunisme, ormas yang didirikan WNA Tiongkok, dan lain sebagainya. Menyebarnya isu ini tentu saja meresahkan masyarakat. Ditambah lagi dengan mulai beredarnya buku “Jokowi Undercover” yang menuding Jokowi sebagai anak kandung dari angota PKI.
Namun demikian, beredarnya isu 10 juta TKA asal Tiongkok ini diperkuat dengan berbagai fakta seputar Tiongkok yang marak diberitakan, mulai dari pengibaran bendera Tiongkok di Maluku, masuknya imigran gelap asal Tiongkok, 5.000 tanaman cabai berbakteri yang bibitnya dibawa masuk oleh warga Tiongkok.
Masuknya 10 juta TKA asal Tiongkok tentu saja hoax. Tetapi, persoalannya bukan hanya itu saja. Ada persoalan lain yang juga harus diluruskan pemerintah mengenai warga negara Tiongkok yang datang ke Indonesia, yaitu masuknya TKA ilegal asal Tiongkok. Sementara ini, yang dijelaskan oleh pemerintah lewat Kemenakertrans adalah jumlah TKA legal asal Tiongkok. Jadi, dalam soal TKA asal Tiongkok ini, pemerintah belum memberikan penjelasannya.
Jokowi dan jajaran pemerintahannya pasti sudah mengetahui kalau sekarang ini menyebar beragam isu yang sangat meresahkan dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Menariknya, (saya punya bukti) penyebaran isu atau informasi hoax itu juga dilakukan oleh seorang guru yang berstatus PNS.
Pertanyaannya, kenapa baru sekarang pemerintah mengungkapkan keresahannya? Bukankah isu-isu dan berbagai informasi hoax itu sudah menyebar luas sejak lama. Sebagai contoh, kasus larangan jilbab oleh BUMN yang disebar oleh Dwi Estiningsih. Kenapa isu itu tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Dan, saat ini orang yang sama membuat keresahan baru dengan cuitan “Pahlawan Kafir” yang diunggahnya lewat Twitter. Anehnya, negara tidak berbuat apa-apa. Dwi dipolisikan oleh masyarakat. Padahal dalam kasus foto ABG yang menginjak patung pahlawan di Simalungun, Sumatera Utara, Polri dan TNI-lah yang bertindak.
Beberapa hari yang lalu Jokowi bicara tentang bedanya kritik dengan menghina, mengujat, memaki, makar, dan kawan-kawannya. Tetapi, apakah Jokowi juga tahu kalau hujatan, hinaan, caci maki, dan sobat-sobatnya itu juga dilontarkan oleh pendukung Jokowi sendiri yang sekarang sedang membela mati-matian Ahok. Cek saja akun yang menhinadinakan dengan sebegitu nistanya Kyai Maruf Amin dengan mencuitkan Ketua MUI ini melakukan kawin ala binatang.
Dengan perilaku saling hujat ini, tentu saja situasi akan terus memanas kalau pemerintah hanya bungkam beribu kata. Sialnya lagi, alih-alih melawan infoemasi miring atau hoax, akhir November 2016 lalu Kapolri malah bertemu dengan netizen yang dikenal sebagai bagian dari kelompok penyulut ujaran kebencian..Akibatnya, Polri dihadap-hadapkan dengan TNI.
Maka, persoalannya bukan hanya pada mencari pelaku penyebar isu hoax masuknya TKA asal Tiongkok dan isu-isu meresahkan lainnya, tetapi juga bagaimana menghadapi situasi yang berpotensi membenturkan sesama anak bangsa ini.
Saat ini ada dua kelompok yang saling berbenturan. Dua kelompok ini saling menyeret anak bangsa lainnya dan saling menciptakan musuh bersama bagi kelompok lainnya. Kalau tidak salah tangkap, sebenarnya kedua kelompok yang sedang saling berhadapan ini digerakkan oleh satu otak. Karenanya, situasi ini lebih tepat digambarkan dengan “dua tangan yang sedang bertepuk”. Celakanya, Jokowi dan pemerintahannya dianggap sebagai bagian dari tangan yang bertepuk itu.
Lebih celakanya lagi, pemerintah terkesan gamang dalam menyikapi situasi ini. Pemerintah seolah tidak tahu harus berbuat apa. Buktinya dalam isu TKA asal Tiongkok, baru hari ini Jokowi “mencolek” Polri untuk mengusutnya. Apakah sebelumnya Jokowi tidak pernah mendapat informasi tentang isu yang digoreng untuk menyudutkan etnis Tionghoa ini?
Bukan Ahok yang menjadi sasaran utama dengan menyebarnya isu ini. Kalau masih berpikir isu soal Tiongkok ini karena Ahok, artinya pemerintah sudah kalah langkah. Ahok hanyalah pintu masuk untuk memecah belah bangsa ini. Kebetulan Ahok keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. “Pintu Ahok” ini dipilih karena lebih terbuka lebar ketimbang masuk lewat “pintu” Syiah.
Kalau dicermati sejak 2014 ada tiga isu yang terus silih bergantian, Tiongkok, komunis, dan Syiah. Mei 2015 isu Tiongkok yang menggeliat. Agustuw 2015 isu komunis mulai menderas. Dan pada November 2015, ancaman terhadap Syiah meningkat.
Dalam situasi seperti ini seharusnya media bisa berperan sebagai komponen peredam situasi. Sayangnya, media justru larut dalam situasi adu domba ini. Media, bahkan media arus utama, justru kerap melakukan pemelintiran fakta yang akibatnya justru memanasi situasi.
Sementara sebagian netizen sudah basah kuyup dalam perang proxy ini. Dan sebagian lainnya lebih memilih enjoy menikmati hidup atau diundang oleh kementerian untuk berkunjung ke sejumlah tempat.
Lantas, pertanyaannya, apa yang seharusnya dan sesegera mungkin dilakukan oleh Jokowi sebagai kepala negara? Ada pintu masuk yang terbuka lebar. Tutup pintu itu. Ada sepasang tangan yang sedang bertepuk. Lumpuhkan salah satu tangannya dulu, baru kemudian tangan lainnya. Bukahkah itu yang dilakukan oleh Jenderal As Sisi di Mesir.
Caranya? Lewat KPK. KPK harus mencabut unsur “niat jahat” dalam menangani kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Bagaimana mungkin unsur niat jahat diterapkan dalam tindak pidana korupsi yang pelakunya orang-orang pintar dan pemangku jabatan tinggi. Kalau unsur “niat jahat” itu diterapkan dalam kasus penistaan agama, baru bisa. Tetapi, sangat tidak masuk akal kalau unsur ini dipakai dalam kasus korupsi. Gegara unsur ini, KPK seperti menyuntik mati dirinya sendiri. Sekarang ini KPK sudah bagaikan hidup segan mati pun tak mau.
Kenapa harus lewat KPK? Karena kecil kemungkinan satu tangan itu masih bertenaga kalau Ahok sudah dipaksa mengenakan rompi orange. Sementara kalau lewat kasus penistaan agama, akibatnya dua tangan itu akan semakin keras bertepuk. Lihat saja ujaran-ujaran di medsos yang saling menyerang satu sama lain dengan menghinadinakan, memfitnah, mencaci, dan lain sebagainya.
Masalahnya, apakah Jokowi sebagai kepala negara berani memaksa KPK melucuti unsur “niat jahat” yang ujug-ujug digunakan dalam kasus Sumber Waras?
Kalau Jokowi belum juga memahami situasi dan belum juga melakukan tindakan yang berarti, Monas bisa menjadi Tahrir Square. Semestinya Jokowi sudah bisa melihat potensi itu dengan berkaca dari Aksi 411, Aksi 212, berikut upaya makar yang membumbuinya. Dan, Jokowi seharusnya juga juga tahu apa yang bakal terjadi kalau Monas sudah menjadi Tahrir Square.
loading...
Tidak ada komentar: