Semoga Pak Anies Melunasi Bayaran Artis Stand Up Pandji Pragiwaksono Alias Sang Koplak

loading...



Ini bukan surat terbuka, tulisan ini hanyalah catatan imajinasi saya untuk tulisan mas Pandji Pragiwaksono berjudul “Saya dibayar Anies Baswedan

Awalnya saya mengira tulisan itu sebagai sebuah klarifikasi ringan dan renyah dari sang Juru Bicara, sekaligus bentuk peng-iya-an — istilah yang lebih pas mengganti kata terserah — mas Pandji menjawab banyaknya pertanyaan teman-teman Mas Pandji yang datang sebagai juru tanya teman-temannya. Mereka semua kompak heran dan bertanya “Pandji Kenapa?”.

Membaca tulisan mas Pandji hingga tuntas, memantik nyali saya untuk memberi catatan terhadap jawaban pertanyaan selanjutnya “Jadi elo tuh kenapa milih Anies?”. Sebuah jawaban panjang yang mengantarkan ingatan saya kepada celotehan Ratna Sarumpaet cs kepada Ahok yang tetap menggusur Kalijodo dan sejumlah pemukiman tak manusiawi lainnya.

Mas Pandji mencoba menggiring pembaca untuk fokus kepada hal-hal yang membuatnya tidak memilih Ahok dengan kalimat, “Karena saya sejak awal tidak memilih beliau. Saya memilih Pak Jokowi. Saya memilih Gubernur yang peduli dengan CARA dia melakukan sesuatu bukan hanya melakukan tanpa pertimbangan dalam tindakan. Gubernur yang memilih pendekatan humanis”.

Pendapat tersebut lalu diperkuat dengan dua tautan video. Video pertama adalah video hasil editan dengan adegan ngeyel-ngeyelan Ahok vs Jokowi soal istilah gusur dan geser. Kocak dan bisa membuat saya tertawa.

Tertawaan itu kemudian mendadak berhenti saat mengetuk tautan video kedua, video hasil suntingan berdurasi 2 menit 5 detik dari yang seharusnya hanya berdurasi 59 detik. Entah Mas Pandji sadar atau tidak bahwa video tersebut dipublikasikan oleh kanal youtube milik kelompok radikal berisi materi-materi fitnah kepada Pak Jokowi pilihan mas Pandji sendiri, serta penuh dengan materi propaganda kekhalifahan yang menjadi agenda utama kelompok tersebut.

Apakah mas Pandji hanya melakukan tanpa pertimbangan dalam tindakan itu, cuma mas Pandji dan Tuhan yang tahu. Yang jelas tautan itu berpotensi diketuk setidaknya oleh satu juta pengikut mas Pandji di twiiter. Alih-alih bantu masyarakat kita yang masih cukup mudah terprovokasi, menghindarkan mereka dari informasi seperti itu, Mas Pandji justru ikut-ikutan menjadi juru bicara kanal intoleran tersebut.

Tulisan mas Pandji lebih banyak menarasikan sebagian kecil warga menengah kebawah sebagai korban. Mirip tulisan para bigot bayaran yang selalu mengisahkan nestapa warga miskin di bantaran kali, di pinggiran rel kereta api, dan di lahan sengketa, yang pada kenyataannya memang dipelihara dan dijadikan tameng hidup oleh para mafia tanah.

Mas Pandji lebih memilih mengesampingkan warga menengah kebawah lainnya yang harus ikut menanggung terpaan banjir bertahun-tahun lamanya akibat permukiman liar yang terus menggerus lebar sungai-sungai di Jakarta.

Mas Pandji menarasikan terburu-burunya Ahok merelokasi 8000 Kepala Keluarga dalam beberapa bulan saja, lalu membandingkannya dengan era Gubernur Foke yang hanya 3200 Kepala Keluarga selama kurun waktu 5 tahun. Mas Pandji justu menampik fakta soal pertimbangan Ahok dalam relokasi yang bertujuan melunasi janji-janji Gubernur Foke dan sebelum-sebelumnya untuk menyelesaikan masalah banjir Ibu Kota. Tidak hanya untuk 8000 kk itu saja, tapi seluruh masyarakat Jakarta.

Seperti yang sudah saya jelaskan diawal tulisan ini, membaca tulisan mas Pandji benar-benar menggiring pada suatu imajinasi mas Pandji yang sedang ngomel ala Ratna Sarumpaet cs. Menggunakan testimoni tak lebih dari 10 orang sudah dianggap mewakili ribuan bahkan jutaan orang lainnya.

Mas Pandji juga menggiring opini pembaca dengan sebuah kalimat tanya “memilih untuk diri sendiri atau memilih untuk seluruh warga Jakarta ?” Mas Pandji lupa, bahwa sebelum kasus Al-Maidah 51, menurut hasil survey yang dilakukan SMRC Oktober 2016 lalu, 75% warga Jakarta puas akan kinerja Gubernur Ahok. Dalam survey itu rata-rata 90% warga Jakarta menilai pelayanan Pemerintah DKI soal sarana dan prasanana baik/sangat baik.

Bahkan, dalam hasil survey yang sama, disebutkan empat sifat kepemimpinan yang paling penting dimiliki seorang Gubernur menurut masyarakat DKI, yaitu bisa dipercaya dan bersih dari korupsi, mampu memimpin, perhatian pada rakyat serta tegas dan berwibawa, Pak Basuki mengguli dua kandidat lainnya.


Memang, seperti diakui sendiri oleh Pak Basuki soal gaya komunikasinya yang apa adanya dan tak jarang terkesan arogan, kurang disukai bahkan akhirnya menjadi batu sandungan. Tapi ketegaran Pak Basuki untuk tetap bangkit berdiri, berbesar hati mengakui kesalahan, dan mulai memperbaiki kekurangan itu, bagi saya dan mungkin bagi Ahokers lainnya adalah sikap kesatria yang makin meyakinkan bahwa pilihan kami sudah tepat.

Soal reklamasi yang mas Pandji bahas, saya belum bisa berkomentar banyak. Dalam pandangan saya sebagai pecinta lingkungan saya setuju dengan pendapat mas Pandji dan para pakar lingkungan. Bagi saya yang juga pendukung Jokowi, lebih baik menghindari spekulasi sambil menunggu proses pembahasan yang sedang bergulir antara Pemerintah Pusat, Pemprov DKI, dan pihak-pihak lain yang lebih berkompeten, agar isu tersebut tidak menjadi bola liar.

Saya ingin memberi catatan terhadap pertanyaan yang sudah mas Pandji simpulkan sendiri. Sesungguhnya mas Pandji terlalu terburu-buru memberikan stigma kepada kami, bahwa kami memilih Pak Basuki semata-mata untuk kami sendiri. Tidak mas!

Kami memilih Pak Basuki sebagai Gubernur yang setia dan taat pada konstitusi, bukan pada konstituen seperti kebanyakan politikus negeri ini. Kami mempercayakan provinsi kami kepada orang baik yang meski babak belur dihatam terpaan isu, tapi tetap gigih bertahan pada prinsip keadilan sosial yang tak berpihak hingga saat ini.

Dari situ, saya sampai pada satu pendapat bahwa mereka yang heran terhadap pilihan mas Pandji berbanding lurus dengan banyaknya komentar negatif yang ditujukan kepada Pak Anies saat sungkeman ke Petamburan menghadap ayahanda Rizieq Shihab. Keheranan bagi mereka yang masih memandang Pak Anies sebagai seorang akademisi atau negarawan.

Sementara bagi saya, Pak Anies sesungguhnya telah meninggalkan perannya sebagai akademisi, apalagi negarawan sejak beliau memutuskan maju dalam Konvensi Capres Partai Demokrat pada Agustus 2013 lalu. Sejak saat itu saya memprediksi bahwa kalimat-kalimat motivasi dari seorang Pak Anies tak lebih dari sekadar ungkapan seorang oportunis.

Benar saja, pada Pilpres 2014 lalu Pak Anies sebagai Jubir Jokowi menghajar habis Prabowo, lalu di Pilgub DKI Jakarta 2017 ini berbalik mengelu-elukan Prabowo sebagai Negawaran. Serupa dengan kunjungan ke markas FPI dengan dalih persamaan hak sebagai warga negara, setelah sebelumnya mengatakan FPI sebagai organisasi ekstremis yang anti keberagaman.

Tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan. Dan Pak Anies sampai hari ini telah menujukkan kualitasnya sebagai Politikus.

Ada satu pesan penting dari Pak Anies agar kita menjaga tenun kebangsaan, buat kami adalah motivasi yang seharusnya terus diingat dan dijalankan. Sekalipun Pak Anies saat ini sedang tidak membutuhkannya. Kita semua termasuk mas Pandji harus terus bergerak seirama indahnya kalimat tersebut, Meski Pak Anies kali ini hanya butuh sebagian benangnya saja.

Saya harap mas Pandji menonton sebuah video iklan politik Turki, bagaimana jutaan rakyat Turki tergerak secara spontan bahu-membahu menaikkan kembali sang Ay Yıldız setelah ada pihak yang mencoba menurunkannya.

Kira-kira seperti itulah gambaran semangat kami semua yang bergerak secara spontan memberi dukungan kepada Pak Basuki. Kami memang berbeda dengan mas Pandji, yang ternyata butuh diundang secara pribadi oleh Pak Anies untuk membantunya.

Seperti halnya mas Pandji yang sudah memilih berada diseberang saya. Sayapun tidak akan menghalangi mas Pandji. Bahkan saya mendukung Mas Pandji dan berharap semoga kelak jika Pak Anies menjadi Gubernur DKI Jakarta, Pak Anies benar-benar melunasi bayaran yang dijanjikan kepada mas Pandji juga kepada kami semua yang tidak memilihnya.

Kita ternyata sama-sama dibayar mas. Bedanya bayaran dengan DP 0% seperti yang Pak Anies janjikan kepada mas Pandji, serupa dengan DP 75% dari bayaran yang telah kami dapatkan dari Pak Basuki.

Terakhir saya ingin menyampaikan pesan dari juru bayar Pak Basuki, bahwa seluruh warga DKI harusnya sudah terima. Jika mas Pandji, pak Anies, dan om Sandiaga sebagai warga Jakarta merasa belum kebagian, silakan datang pagi-pagi ke kantor gubernur. Pak Basuki langsung yang akan melayani pengaduan seluruh warga Jakarta.


loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.