Memilih Gubernur Non-muslim Tidak Haram
loading...
Judul tulisan ini klise. Saya mengerti hal klise seperti ini tidak layak diulang-ulang. Itu membosankan. Namun untuk melawan kebebalan, hal klise sekalipun tidak banyak berguna. Demi politik, orang-orang melakukan intimidasi di masjid-masjid dengan judul, doa bersama, menyelamatkan agama, membela ulama. Mereka melakukan itu setiap Jumat, di pengajian-pengajian, dalam bentuk broadcast medsos. Mereka mengancam dengan dalih keimanan hanya demi goal politik.
Memilih gubernur non-muslim haram, katanya. Kita akan disuguhi dalil panjang-panjang. Kalau perlu menyeret nama ulama kondang. Namun sebenarnya semua itu hoax. Dalil memilih gubernur tidak ada dalam Quran. Dicari seribu tahun sekalipun tidak akan ketemu, karena memang TIDAK ADA. Lalu dalil-dalil yang dipakai itu bagaimana?
Itu dalil yang dicari-cari, dalil yang dipaksakan. Dan biasanya, buzzer yang menyebar dalil-dalil itu tidak paham agama. Karena orang yang paham tafsir (bukan terjemahan) Quran akan malu jika memproduksi hoax demi politik. Dalil yang dipelintir itu kelasnya ya hanya hoax. Tafsir aslinya tidak ada kaitannya dengan Pilkada, apalagi hanya soal Ahok. Namun demi kepentingan politik, tafsir itu dibelokkan, memilih pemimpin non-muslim haram.
Banyak ahli agama yang membahas soal ini, saya sebut satu saja yang masih muda, Nadirsyah Hosen. Keluasan ilmunya tidak diragukan lagi. Pengalamannya luas sekali. Jika dibandingkan dengan ulama abal-abal seperti Abdullah Gymnastiar, seperti rajawali dengan emprit. Jauh, jauuuh sekali. Namun orang banyak lebih suka ulama abal-abal daripada yang sungguhan. Karena tidak sesuai syahwat politik mereka. Tafsir Nadirsyah Hosen ini saja tidak mereka pakai, apalagi yang lain, apalagi saya.
Jadi, tafsir yang benar itu sudah tidak dianggap penting, karena yang bekerja di sini hanyalah kebencian. Bertumpuk-tumpuk kebencian hingga menggunung dan memenuhi hati. Tidak ada lagi logika di sini. Semua hanya didasarkan pada sentimen membabi-buta. Memilih gubernur non-muslim di negara demokrasi harus haram. Tak perduli jika dalilnya dibuat-buat dan dipaksakan. Bahkan seorang ulama sepuh sekelas Quraish Shihab diolok-olok analoginya. Padahal analogi yang dibuatnya itu sesuai dengan premis kebolehan memilih gubernur non-muslim.
Jakarta mengalami perubahan nyata. Semua orang yang hidup di Jakarta tahu hal ini. Sungai-sungai bersih, anak-anak ada yang kembali mandi di kali setelah puluhan tahun itu tidak dilakukan, karena kalinya kotor. Jalan-jalan juga bersih, taman-taman indah dibangun, begitu juga dengan tempat bermain. Anak-anak mendapatkan kembali hak masa kecil mereka: untuk bermain.
Angkutan massal terus diperbanyak, jalan layang dibangun. Semua itu demi mengurai kemacetan yang jadi momok. Berbagai macam kartu dan tunjangan diberikan pada warganya. Birokrasi semakin bersih dan efesien. Mengurus keperluan sangat cepat dan tak ada lagi pungli. Dibanding daerah lain, warga Jakarta sudah lebih dimanjakan.
Kontras sekali dengan daerah di sekitarnya. Jika daerah lain mengharap gubernur pekerja keras, bebas korupsi, tegas, beberapa oknum mabuk agama di Jakarta bersikeras mencari yang seiman. Padahal yang seiman belum tentu teruji. Demi jabatan gubernur mereka bahkan rela melakukan apa saja. Proses cuci otak ini dilakukan terus-menerus. Apalagi ketika mereka telah menemukan momentum penistaan agama. Jakarta juga basis dari PKS. Jadi kader militan partai ini jelas arah suaranya ke mana.
Memilih gubernur non-muslim tidak haram. Fatwa ulama Al-azhar sudah jelas menyebutkan hal itu. Jika ada orang yang menolak Ahok dengan alasan keimanan, sebenarnya hanya korban cuci otak saja. Dogma bisa menguburkan akal sehat. Mungkin hatinya hendak memilih Ahok, tapi karena ceramah-ceramah itu mengatakan haram, Ahok berbahaya bagi umat Islam, maka demi agama dan keimanan mereka menolak kata hati.
Apa yang dilakukan di masjid-masjid itu hakikatnya justru menjual agama demi politik. Ayatnya tidak ada, tapi diplintir-plintir. Perbuatan itu nista senista-nistanya. Agama adalah sesuatu yang transenden, suci, tapi dai-dai politik itu mengubahnya menjadi sedemikian profan dan hina. Agama dijual dengan harga begitu murah.
Pertarungan Pilkada Jakarta kemudian digiring jadi ajang pertaruhan umat yang nasionalis (rasional) dan kelompok agamis (radikal/saklek). Padahal sebenarnya tidak masalah jika memilih Anies dengan alasan logis, misalnya program kerja. Namun ketika membuat pemelintiran dalil, itu sudah masuk kategori pembodohan. Orang-orang awam digiring dengan cara dicambuki seperti ternak. Ini jelas merusak akal sehat, merusak demokrasi.
Bagaimanapun usaha keras untuk mengingatkan substansi hukum memilih gubernur non-muslim ini tidak banyak berguna, jika di pihak lain orang-orang terus saja dicuci otaknya dengan dogma yang keliru. Pertaruhan Jakarta bukan saja pemerintahan yang baik, tapi juga masa depan nalar. Maka sudah jadi kewajiban orang-orang kritis untuk terus bersuara. Ini bukan tentang Ahok atau Anies lagi, ini tentang masa depan kewarasan kita!
Kajitow Elkayeni
loading...
Tidak ada komentar: