Tumpengan Ahok Dipenjara, Contoh Bobroknya Moral Prabowo dan Kelompoknya

loading...



Setelah Ahok dinyatakan bersalah, divonis 2 tahun penjara dan ditahan, kemudian beredar foto syukuran dan foto tumpeng dalam rangka merayakan dipenjaranya Ahok. “Selamat Ahok dipenjara.”

Melihat gambar tersebut saya cukup terkejut. Luar biasa sekali mereka ini. Mereka dengan sadar dan sengaja, dengan niat yang kuat, merayakan dipenjaranya Ahok dengan tumpengan. Seolah selama ini mereka benar-benar menunggu dan mengharap Ahok dipenjara.

Lebih terkejut lagi karena kemudian Prabowo ikut menanggapi bahwa tidak ada yang salah dengan syukuran dan tumpengan tersebut. “Apakah ada yang salah dengan foto itu? Itu bentuk spontanitas teman-teman yang merasa agamanya dinistakan,” ucap Prabowo dalam pesan singkatnya kepada Kompas.com, Rabu (10/5/2017) malam.

Dengan rekam jejak luar biasa, saya pikir seorang Prabowo sudah cukup bijak dan negarawan. Sejak 2004 Prabowo sudah maju di konvensi Calon Presiden, 2009 maju sebagai Calon Wakil Presiden, 2014 maju lagi sebagai Calon Presiden. Sekalipun semuanya kalah, tetap saja maju sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden bukanlah orang yang sembarangan. Sudah seharusnya seorang Prabowo dengan segala pencapaiannya, memiliki hati dan peka terhadap kondisi sosial, seperti halnya seorang pemimpin pada umumnya.

Tapi bertanya apakah ada yang salah dengan foto itu? Dengan foto selamat Ahok dipenjara, ini menjadi pembenaran bahwa itu semuanya hanyalah spontanitas dan tidak ada yang salah dengan itu.

Padahal kalau mau sedikit serius, saya bisa jawab di foto itu ada yang salah, dan sangat fatal sekali. Di kertas tertulis: selamat –Ahok- di penjara. Kalimat ini berati ucapan selamat Ahok di (berada) penjara. Sama seperti kalimat: selamat Ahok di Balai Kota atau selamat Ahok di Jakarta dan sebagainya. Penulisan “di” dipisah menunjukkan tempat atau lokasi. Seperti di utara, di selatan, di bawah, di atas dan seterusnya.

Dan menurut logika sederhana, kalimat tersebut agak rancu. Tidak biasa kita menggunakan ucapan selamat seperti itu. Yang lumrah digunakan adalah selamat datang di rumah, selamat datang di Jakarta. Kalau selamat paman di rumah, atau selamat paman di kantor, ini hanya digunakan oleh turis yang tidak tau bahasa Indonesia.

Yang benar seharusnya: selamat –Ahok- dipenjara. Artinya selamat akhirnya Ahok dihukum.

Tapi ya sudahlah, sepertinya pendidikan di Indonesia memang sangat buruk sekali. Sampai-sampai seorang capres cawapres 3 kali, tidak bisa menemukan apa yang salah dalam foto itu. Dan sepertinya kelompok mereka memang tidak terlalu paham bahasa Indonesia. Setelah tidak bisa membedakan Prabowo makan pakai sendok dan Prabowo makan sendok, sekarang mereka tidak bisa membedakan Selamat Ahok di penjara dan selamat Ahok dipenjara.

Mempertanyakan moral Prabowo
Di luar soal kesalahan tulisan, dengan bertanya apa ada yang salah dalam foto tersebut, seolah memang tidak ada yang salah, saya melihat betapa buruknya moral seorang capres-cawapres 3 kali kalah ini.

Entah sudah sehitam apa hati seorang Prabowo, sehingga menilai perayaan atas dipenjaranya Ahok merupakan hal yang biasa, spontanitas dan malah bertanya apa ada yang salah? Bahasa komunikasi seperti ini mirip emak-emak atau tante-tante yang kalau ditanya jawabnya “masalah buat lu?!”

Dalam konteks sosial serta kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak pantas kita merayakan musibah, ujian atau hal-hal negatif yang dirasakan oleh orang lain.

Sudah banyak koruptor atau orang-orang yang kita benci akhirnya masuk penjara, tapi sepertinya tidak pernah ada yang sampai merayakan syukuran, tumpengan dan foto-foto. Silahkan diingat-ingat, pernahkah ada koruptor atau narapidana yang ketika masuk penjara mendapat perayaan dari lawannya?

Memang hal ini tidak ada dalam undang-undang dan tidak ada larangannya, tapi seperti itulah kita selama ini, yang rukun dan penuh semangat persatuan. Kita tidak merayakan atau mensyukuri kesedihan orang lain.

Dalam studi di tahun 2010, Psikolog dari University of Colorado menjelaskan bahwa melihat orang menderita akan menjadi lucu jika kita tidak merasakan empati. Jika kita melihat film komedi di mana sang aktor tertimpa sial, kita akan tetap tertawa melihatnya. Akan sangat berbeda jika kita melihat sendiri kesialan yang menimpa orang terdekat kita.

Merayakan syukuran karena Ahok dipenjara ini sama seperti kita merayakan syukuran mantan yang batal nikah atau merayakan pesaing bisnis yang bangkrut. Hanya hati orang yang terlalu hitam dan tidak punya moral atau sifat kemanusiaan yang bisa melakukan itu. Karena sewarasnya, yang kita rayakan adalah kemenangan-kemenangan pribadi atau kelompok. Bukan merayakan masalah orang lain.

Sementara dalam agama Islam, pun ada banyak larangan-larangan untuk merayakan kesusahan, kesulitan atau kesedihan orang lain. Ada hadits atau ayat yang hanya membahas sesama muslim, tapi ada juga yang membahasnya dalam bahasa yang lebih umum.

Setau saya, Prabowo ini muslim, muallaf karena ingin menikahi anaknya Soeharto. Jadi ketika melihat dia bertanya seolah tidak ada yang salah dengan merayakan kesedihan orang lain, terpaksa saya harus singgung soal keislamannya. Meskipun saya pikir semua agama tidak ada yang mengajarkan ummatnya untuk bahagia di atas penderitaan orang lain.

Dan sebenarnya, tidak perlu jadi orang yang punya agama untuk tidak bahagia di atas penderitaan orang lain, karena dengan menjadi manusia saja, kita pasti bisa merasakan empati. Jika tidak bisa, pasti ada yang salah dalam diri orang tersebut.

Terakhir, saya dan seluruh keluarga Seword berdoa, menurut keyakinan masing-masing, semoga orang-orang seperti Prabowo, yang tak memiliki nurani, empati dan tidak mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya, agar tidak pernah diijinkan untuk memimpin Indonesia. Sebab sungguh tak ada bencana yang lebih berat daripada pemimpin yang tak punya nurani dan empati…. 


Begitulah kura-kura.


loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.