Mata Siapa Tak Terbelalak? Mohammad Sobari Sedang “Menelanjangi” Anies Baswedan

loading...
 


Ada beragam topik menjadi bahan diskusi. Hangat dan bahkan memanasnya situasi politik dalam perhelatan Pilkada di DKI Jakarta menjadikan banyak orang melek politik, menjadi “pakar” politik ala warung kopi. Bukan hanya calon pemimpin saja yang berpolitik. Semua yang mendapatkan dampaknya baik secara langsung maupun tidak sudah bisa dikategorikan bagian dari dinamika politik itu sendiri.


Para calon dari kedua pasangan yang beradu gagasan dan terobosan brilian untuk DKI yang lebih maju dan sejahtera tak pernah lepas dari sorotan banyak pihak. Semuanya dipelototin habis-habisan. Itu bukan lantaran mereka kurang kerjaan melainkan sebagai wujud kepedulian untuk ikut berpartisipasi dalam mewujudkan impian bersama di atas.

Kalau para kandidat beserta timses serta para pendukung bersama partai penyokong begitu sibuk menyiasati lawan dan bahu-membahu menyukseskan kampanye sang jagoan, para pengamat politik juga mendapatkan tempatnya untuk bersuara. Tak ketinggalan pula, mereka yang meluangkan waktu dan pikiran untuk menyumbangkan ide lewat tulisan-tulisan bernada pencerahan (walau tak sedikit pula yang melangkahi kaidah tersebut demi keuntungan pribadi dan/atau kelompok tertentu). Singkatnya, semua pada sibuk.

Ketika Pilkada bukan hanya milik para elit politik

Mencermati peta politik di DKI akhir-akhir ini terutama sejak pasca debat Cagub dalam acara Mata Najwa minggu lalu, sudah terasa sekali aroma yang kian tajam. Di berbagai media digital telah dibahas dari berbagai dimensi mengenai fakta yang terjadi dan kemungkinan yang bisa berbuah kenyataan hingga hari -H pemilihan pada 19 April mendatang.

Waktu terus berpacu dan para kandidat berusaha melaju. Ada yang berjalan dengan beban yang semakin ringan dan ada pula yang justru memikul beban yang tak sedikit. Itulah dinamika politik karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Mencari sosok pemimpin yang berintegritas memang bukan perkara sulit karena rumit.

Para kandidat di Pilkda DKI seakan tak memiliki waktu untuk beristirahat; demikian pun mereka yang menjadi bagian dari perjuangan mereka tersebut. Mereka harus tegar dan menunjukkan integritasnya sebagai sosok yang layak diacungi jempol, bukan saja karena kata-katanya tetapi lebih pantas karena data-datanya, karena tindakannya.


Untuk itulah maka banyak yang membuka suara untuk membedah kepribadian atau karakter calon pemimpin yang lagi mempertontonkan diri di depan publik. Pilihan saya jatuh pada Bang Mohammad Sobary, seorang budayawan (yang mana menurut pengakuannya sendiri bahwa Anies Baswedan pernah menjadi anak buahnya di sebuah organisasi dan masih menganggapnya demikian) menjelaskan tentang pemimpin yang berintegritas:

“Si Ahok itu orang biasa. Dia hanya biasa (dengan) kerja keras! Dia hanya biasa mengabdi; dia hanya biasa melakukan apa yang layak dilakukan; dia biasa terbuka, tidak bohong! Hidupnya dikontrakkan. Dia tahu (bahwa dia) memiliki sensitifitas yang tinggi, meninggalkan kampungnya yang jauh di sana untuk menjemput nasib. Tetapi nasib (itu) menunggu(nya) di Jakarta…”

Dia melihat dalam diri seorang Ahok bukan dari status sosialnya tetapi dari karakternya yang sudah terbiasa mempraktekkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kesehariannya. Dia telah menunjukkan siapa dirinya berdasarkan apa yang sudah biasa dia lakukan. Dia tidak mendua dan tidak bertopeng. Dia cukup menjadi dirinya sendiri!

“Dia hanya melakukan itu dengan kejujuran, dengan keterbukaan, dengan pengabdian. (Dia malah) dikritik oleh Anies (bahwa hal itu) tidak cukup.
Saya (Anies) berfilsafat. Filsafatmu itu harus diterjemahkan ke dalam tindakan, menjadi (seperti apa) yang dilakukan Ahok. Ah, nggak perlu filsafat! karena tindakan Ahok melahirkan filsafat…”

Ahok tidak mengada-ada dan memang tidak suka mempertontonkan kepada publik yang bukan dirinya, yang bukan keasliannya. Dia hanya mau mengabdi dan menjadikan keadilan sosial sebagai tujuannya dengan mencurahkan segala daya dan upaya. Dia tak sibuk berteori, berceramah, berfilsafat karena dia hanyalah pelayan rakyat Jakarta. Tugasnya tak lain adalah mengadministrasi keadilan sosial di antara semua penduduk DKI. Biarkanlah orang lain yang mengakomodasi tindakan pelayanannya dalam bentuk teori. Setiap orang mengekspresikan keahliannya.

“Saya bisa buktikan tindakan Ahok itu melahirkan filsafat… (yakni) filsafat politik. Namanya apa? Good governance. (Berkaitan dengan) filsafat politik itu, Ahok tidak tahu (tentang) good governance. Dia nggak sekolah (yang) sofistikasi, omong kosong begitu. Itu urusannya profesor lah, urusan orang-orang terpelajar. Ahok nggak peduli! (karena) yang dia peduli ialah (bahwa dia) ingin hidup(nya) menjadi tangan Tuhan, sekedar tangan Tuhan, mengabdi. (Tetapi hal itu) dikritik oleh Anies.”

Selama ini, kepemimpinan Ahok dalam kesehariannya mengedepankan motto: Bersih, Transparan dan Profesional. Dengan merangkul erat prinsip integritas sebagai pegangan pribadi dan sebagai pelayan masyarakat DKI, dia tak melenggang jauh dari: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi di atas semuanya itu, dia benar-benar membuktikan keyakinan akan imannya bahwa apa dan bagaimana pun hidupnya, tak lepas dari campur tangan yang Ilahi. Tuhan yang memberi, Dia pula yang mengambil. Di luar dari prinsip tersebut, berasal dari si jahat!

Teriring salam menjadi pemimpin adalah pelayan yang memberi diri seutuhnya!




Sumber
loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.