Sandiaga Uno Mengalami “Kram” Lidah, di Debat ke-2
loading...
Debat kedua pilkada DKI, 27 Januari 2017 yang disenggarakan di Hotel Bidakara dengan membawa tema reformasi birokrasi, pelayanan publik, dan penataan kota berlangsung di Hotel Bidakara Jakarta Selatan. Seharusnya berlangsung dengan menarik, jantung permasalahan ibu kota yang identik dengan “penyakit masyarakat” yaitu korupsi, dengan tema reformasi birokrasi seharusnya akan banyak pemaparan dari para paslon penantang untuk dapat menawarkan aneka program yang dapat mengatasi masalah tersebut,
Ketika membicarakan reformasi birokrasi, sewajarnya jika selalu dihadapkan oleh dua perihal yaitu pelaksana dan system yang ada. Namun tidak satu pun paslon penantang yang mengangkat ini menjadi sesuatu konsumsi pemirsa yang jelas dan terang benderang yang sajikan dalam program dan langkah-langkah. Paslon nomor urut satu sudah jelas tidak akan berani menyajikan dan menawarkan sejelas-jelasnya program yang dapat mengatasi masalah reformasi birokrasi dan cenderung hanya beretorika hingga hanya memanfaatkan batasan waktu saja. Dilihat dari latar belakang “Dinasti Cikeas” yang banyak tersangkut kasus korupsi, membuat paslon nomor urut satu menjadi kaku lidahnya ketika berbicara reformasi birokrasi.
Begitu pun untuk nomor urut tiga, dengan komposisi image, akademisi (Anies) dan pengusaha (Sandi), tidak mampu menawarkan hal kongkret atas tema reformasi birokrasi, lebih cenderung memaparkan narasi tanpa tepi, terus saja mengambang dan tidak pernah kongkrit solusinya terhadap permasalahan yang ada, isu kepemimpinan gerakan, dengan melibatkan partisipasi dan peran serta masyarakat menjadi senjata argumentasi, semua “dilempar” kemasyarakat, memberdayakan masyarakat, dan lain-lain….loh yang jadi pemimpin dan yang bertanggung jawab siapa sih….kan pemimpin, kok jadi cenderung “pengecut” dan terus menerus tidak ada program yang ditawarkan untuk mengatasi masalah dan terus dilemparkan ke masyarakat.
Dengan hanya bemodalkan kesan baik dengan menggelontorkan program oke oche nya sebagai solusi segala permasalahan yang ada di DKI sepertinya terlalu naïf, indilkator kebahagiaan masyarakat dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dengan tiga indikator, kesehatan, pendidikan dan pendapatan, ini tidak hanya dapat diselesaikan semata dengan program oke oche nya saja, dari berbagai macam kompleksitas permasalahan, dari indicator IPM (Indeks Pembangunan Manusia), budaya korupsi, perilaku dan interaksi sosial serta komunikasi dan banyak hal lainnya. Dengan enggan nya Sandiaga Uno berargumentasi dengan topik lainnya dan hanya konsentrasi di oke oche nya saja seakan cukup untuk membuatnya menjadi seorang pemimpin publik..
Apakah kekuatiran untuk mendapat arus balik kepadanya sehingga paslon nomor urut tiga ini hanya mengandalkan Anies semata, dan menyimpan Sandiaga uno karena takut mendapatkan serangan balik yang akan mengkritisinya. Sebut saja bagaimana karatekteristiknya sebagai seorang calon pemimpin publik yang berasal dari kalangan pengusaha. Budaya yang ada di birokrat yang korup adalah, pemimpin publik yang baik dan tidak “galak” kepada pengusaha maka karirnya panjang, namun jika pemimpin publik (gubernur) yang “galak” kepada pengusaha maka karirnya pendek, itu kan yang menjadi rahasia umum di masyarakat.
Mengapa Sandiaga Uno enggan berperan aktif dalam debat dengan tema reformasi birokrasi apakah karena takut akan diangkat perilaku “pengusaha” yang mempunyai kesan dimana “mendukung” birokrasi yang korup untuk dapat melancarkan segala usaha dan perusahaan yang dijalankan oleh seorang pengusaha. Di Negara yang kaya dengan sumber daya alam ini siapa sih yang paling diuntungkan, pertama adalah individu yang korup yang berprofesi sebagai birokrat dan pejabat Negara, satu hal lagi adalah para pengusaha, mereka yang menikmati budaya korupsi. Terlebih lagi para pengusaha yang memang bergerak dalam bidang energy dan sumber daya alam serta komoditas (batu bara, minyak, perkebunan dan hasil alam lainnya), hampir kesemua perusahaan Sandiaga Uno adalah bergerak dibidang tersebut.
Ternyata kakunya lidah para paslon penantang ada sebabnya, apakah kita mau mempercayai pengelolaan organisasi yang sebesar Ibu Kota DKI Jakarta ini kepada orang-orang yang untuk bicara mengenai reformasi birokrasi saja sudah kaku dan kelu lidahnya, sepertinya mereka mengalami “kram” lidah sehingga tidak mampu berbicara, bagaimana mau membuat DKI yang bebas dari korupsi dan tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan sementara yang membuat masyarakat DKI “sakit” dengan berbagai macam ketidakadilannya disebabkan birokratnya yang korup.
Bagaimana bisa menyapu halaman yang kotor dengan sapu yang kotor .??
Ketika membicarakan reformasi birokrasi, sewajarnya jika selalu dihadapkan oleh dua perihal yaitu pelaksana dan system yang ada. Namun tidak satu pun paslon penantang yang mengangkat ini menjadi sesuatu konsumsi pemirsa yang jelas dan terang benderang yang sajikan dalam program dan langkah-langkah. Paslon nomor urut satu sudah jelas tidak akan berani menyajikan dan menawarkan sejelas-jelasnya program yang dapat mengatasi masalah reformasi birokrasi dan cenderung hanya beretorika hingga hanya memanfaatkan batasan waktu saja. Dilihat dari latar belakang “Dinasti Cikeas” yang banyak tersangkut kasus korupsi, membuat paslon nomor urut satu menjadi kaku lidahnya ketika berbicara reformasi birokrasi.
Begitu pun untuk nomor urut tiga, dengan komposisi image, akademisi (Anies) dan pengusaha (Sandi), tidak mampu menawarkan hal kongkret atas tema reformasi birokrasi, lebih cenderung memaparkan narasi tanpa tepi, terus saja mengambang dan tidak pernah kongkrit solusinya terhadap permasalahan yang ada, isu kepemimpinan gerakan, dengan melibatkan partisipasi dan peran serta masyarakat menjadi senjata argumentasi, semua “dilempar” kemasyarakat, memberdayakan masyarakat, dan lain-lain….loh yang jadi pemimpin dan yang bertanggung jawab siapa sih….kan pemimpin, kok jadi cenderung “pengecut” dan terus menerus tidak ada program yang ditawarkan untuk mengatasi masalah dan terus dilemparkan ke masyarakat.
Dengan hanya bemodalkan kesan baik dengan menggelontorkan program oke oche nya sebagai solusi segala permasalahan yang ada di DKI sepertinya terlalu naïf, indilkator kebahagiaan masyarakat dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dengan tiga indikator, kesehatan, pendidikan dan pendapatan, ini tidak hanya dapat diselesaikan semata dengan program oke oche nya saja, dari berbagai macam kompleksitas permasalahan, dari indicator IPM (Indeks Pembangunan Manusia), budaya korupsi, perilaku dan interaksi sosial serta komunikasi dan banyak hal lainnya. Dengan enggan nya Sandiaga Uno berargumentasi dengan topik lainnya dan hanya konsentrasi di oke oche nya saja seakan cukup untuk membuatnya menjadi seorang pemimpin publik..
Apakah kekuatiran untuk mendapat arus balik kepadanya sehingga paslon nomor urut tiga ini hanya mengandalkan Anies semata, dan menyimpan Sandiaga uno karena takut mendapatkan serangan balik yang akan mengkritisinya. Sebut saja bagaimana karatekteristiknya sebagai seorang calon pemimpin publik yang berasal dari kalangan pengusaha. Budaya yang ada di birokrat yang korup adalah, pemimpin publik yang baik dan tidak “galak” kepada pengusaha maka karirnya panjang, namun jika pemimpin publik (gubernur) yang “galak” kepada pengusaha maka karirnya pendek, itu kan yang menjadi rahasia umum di masyarakat.
Mengapa Sandiaga Uno enggan berperan aktif dalam debat dengan tema reformasi birokrasi apakah karena takut akan diangkat perilaku “pengusaha” yang mempunyai kesan dimana “mendukung” birokrasi yang korup untuk dapat melancarkan segala usaha dan perusahaan yang dijalankan oleh seorang pengusaha. Di Negara yang kaya dengan sumber daya alam ini siapa sih yang paling diuntungkan, pertama adalah individu yang korup yang berprofesi sebagai birokrat dan pejabat Negara, satu hal lagi adalah para pengusaha, mereka yang menikmati budaya korupsi. Terlebih lagi para pengusaha yang memang bergerak dalam bidang energy dan sumber daya alam serta komoditas (batu bara, minyak, perkebunan dan hasil alam lainnya), hampir kesemua perusahaan Sandiaga Uno adalah bergerak dibidang tersebut.
Ternyata kakunya lidah para paslon penantang ada sebabnya, apakah kita mau mempercayai pengelolaan organisasi yang sebesar Ibu Kota DKI Jakarta ini kepada orang-orang yang untuk bicara mengenai reformasi birokrasi saja sudah kaku dan kelu lidahnya, sepertinya mereka mengalami “kram” lidah sehingga tidak mampu berbicara, bagaimana mau membuat DKI yang bebas dari korupsi dan tercapai kesejahteraan dan kebahagiaan sementara yang membuat masyarakat DKI “sakit” dengan berbagai macam ketidakadilannya disebabkan birokratnya yang korup.
Bagaimana bisa menyapu halaman yang kotor dengan sapu yang kotor .??
loading...
Tidak ada komentar: