[Video] ILC TV One: ”Membidik Habib Rizieq”. Pengacara Blunder, Sesuatu Terbongkar, Rizieq Malah Tersudut

loading...




Indonesia Lawyers Club yang hadir malam ini dengan tema : ’’Membidik Habib Rizieq’’, sungguh menarik bagi saya dikarenakan ada banyak sekali ahli-ahli yang dihadirkan, ada ahli-ahli telematika dan ahli-ahli hukum pidana. Bahkan kuasa hukum Rizieq, Eggi Sudjana pun membawa satu ahli telematika, Hermansyah. Juga ada dua ahli hukum pidana yang keliru dalam memberikan pencerahannya kepada masyarakat, yakni ahli hukum pidana Akhiar Salmi serta Jamin Ginting. Serta blunder fatal yang dilakukan Kapitra Ampera dalam menanggapi penjelasan ahli telematika, Abimanyu Wachjoewidajat. Semuanya akan saya ulas lengkap dan mendetail di sini , tentu dari aspek hukum pidana.

Ahli telematika , Abimanyu Wachjoewidajat dalam penjelasannya menyatakan bahwa foto telanjang Firza adalah identik dengan Firza dan BUKAN rekayasa. Sementara untuk percakapan WhasApp, ahli belum dapat mengambil kesimpulan. Ahli yang dibawa Eggi Sudjana , ahli telematika, Hermansyah menyatakan bahwa chat itu asli tapi palsu. Ada orang lain yang melakukan seseuatu terhadap akun tersebut sehingga ada chatting. Dari penjelasan yang disampaikan ahli telematika, Hermansyah, sangat mudah dipatahkan dengan logika hukum.


Ahli telematika, Abimanyu telah menyatakan bahwa foto itu identik dengan Firza BUKAN rekayasa. Foto mengalami editan tapi TIDAK rekayasa. Editan untuk menutupi bagian aurat. Sementara ahli telematika yang dibahwa Eggi Sudjana menyatakan chat itu asli TAPI palsu. Penjelasan Firmansyah sangat tidak logis secara hukum, karena jika foto yang identik dengan Firza BUKAN hasil rekayasa (sebagaimana keterangan ahli, Abimanyu) , tapi kemudian dinyatakan isi percakapan itu asli TAPI palsu (sebagaimana keterangan ahli, Hermansyah) Ini bagaimana logika hukumnya? Ini pertanyaan besarnya.

Karena begini, saya sudah membaca semua percakapan dalam WhatsApp itu, maka pertanyaan besarnya adalah jika Hermansyah menjelaskan bahwa asli TAPI palsu, MENGAPA antara isi percakapan dalam WhasApp yang diduga dibuat oleh Rizieq, semua isi percakapannya Rizieq nyambung dengan respon dari Firza, yakni Firza mentransmisikan foto telanjang kepada Rizieq, yang mana menurut ahli telematika, Abimanyu, foto itu identik dengan Firza BUKAN rekayasa.

Karena logika hukumnya, jika foto itu identik dengan Firza, dan semua kalimat dalam percakapan itu berujung pada ditransmisikannya foto telanjang Firza kepada Rizieq, logikanya isi percakapan itu ikut asli pula. Karena, jika isi percakapan asli TAPI palsu sebagaimana keterangan ahli yang dibawa Eggi Sudjana, Hermansyah, bagaimana logikanya foto yang identik dengan Firza itu justru saling sambung-menyambung dengan isi percakapan yang diduga kuat dibuat Rizieq? Kok bisa nyambung begitu kalimatnya, Rizieq minta Firza berfoto telanjang lalu Firza mentransmisikan foto telanjang yang diminta Rizieq.

Jadi, sudah nyambung betul isi percakapan itu, saya yakin Polda Metro Jaya sudah mempunyai bukti yang kuat untuk menjerat Rizieq dalam kasus chat berkonten pornografi ini. Jadi, bagi saya, keterangan ahli telematika, Hermansyah yang merupakan ahli yang dibawa Eggi Sudjana adalah lemah dan berlawanan dengan logika hukum. Iitu pun jika logikanya masih hidup. Itu yang pertama.

Lalu kemudian kuasa hukum Rizieq, Eggi Sudjana mengatakan bahwa chatingan itu palsu jika dilihat dari sisi IT. Jelas ini kesimpulan yang ngawur, karena ahli yang dibawa Eggi pun penjelasannya berlawanan dengan akal sehat , ngawur juga, karena menyatakan chat asli TAPI palsu, tapi tidak menyinggung sama sekali dengan kalimat-kalimat dalam percakapan yang diduga kuat dibuat Rizieq. Mengapa Eggi Sudjana selama ini tidak ingin menyinggung kalimat demi kalimat dalam percakapan WhasApp?

Jawaban saya begitu sederhana, kalau menyinggu kalimat-kalimat itu, maka Eggi tidak akan punya argumentasi hukum lagi untuk membela Rizieq, dikarenakan dari percakapan tersebut, dalam kalimat per kalimat JELAS SEKALI ADA bujukan dari Rizieq kepada Firza agar Firza berfoto telanjang bahkan Firza dibujuk berfoto nungging, tetapi ini tidak dilakukan Firza. Firza hanya memenuhi satu saja bujukan Rizieq, berfoto telanjang.

Eggi Sudjana kembali menyinggung keterangan saksi sebagaimana dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, bahwa saksi harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Sedangkan Rizieq menurut Eggi, TIDAK PANTAS JADI SAKSI. Sekarang begini, saya belokkan argumentasi hukumnya, jika Rizieq tidak pantas menjadi saksi, mengapa isi percakapan yang diduga kuat dibuat Rizieq nyambung dengan apa yang direspon Firza, yakni mentransmisikan foto telanjang sesuai bujukan Rizieq? Ini kok nyambung begitu?

Bagaimana Eggi bisa menjelaskan ini dengan logika hukum yang benar. Karena ahli telematika yang dibawanya pun tidak dapat menolong Rizieq untuk lolos dari jerat pidana ini, karena ahli itu mengatakan chat itu asli TAPI palsu. Kalau demikian alasannya, kok Firza malah mentrasmisikan foto telanjang sesuai dengan percakapan yang diduga kuat dibuat oleh Rizieq yang telah lebih dulu membujuk Firza agar berfoto telanjang yang juga sudah diawali dengan ‘’janji temu’’ dan janJi ingin menikahi dan menghalalkan Firza?


Berdasarkan argumentasi hukum tersebut, bagaimana logika hukumnya jika Eggi menyatakan chatingan itu palsu? Kalau palsu kok nyambung smeua kalimatnya dengan apa yang direspon Firza dalam menanggapi Rizieq? Jika Eggi bisa menjawab itu, maka baru boleh bicara Pasal 1 butir 26 KUHAP. Tetapi jika belum bisa menjawab itu, maka tidak perlu mengatakan Rizieq tidak pantas jadi saksi apalagi tersangka, karena alasan dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP. Dan pernyataan Eggi yang menyatakan bahwa pelapor yang seharusnya jadi tersangka, ini adalah pernyataan hukum yang memalukan. Karena jika pelapor melihat ada dugaan telah terjadinya suatu indak pidana, maka pelapor wajib melaporkan tindak pidana yang diduga kuat sudah terjadi (vide: Pasal 1 butir 24 KUHAP).

Kemudian, Kapitra Ampera juga menyinggung situs baladacintarizieq.com, akun Facebook Philps Tjong dan Gerilya Politik dan menyatakan bahwa situs-situs itu tidak berwenang melakukan penyadapan. Pertanyaan besarnya kapan situs-situ itu melakukan penyadapan? Apa bukti mengatakan bahwa sityus-situs itu telah melakukan penyadapan? Karena mengenai alat bukti percakapan WhasApp yang tersebar itu diperoleh dari Annyomous dan penyidik Polda Metro Jaya menetapkan Rizieq sebagai tersangka adalah berdasarkan laporan beberapa orang dengan alat bukti 8 CD dan 8 lembar capture WhasApp yang kini sudah jadi salah satu alat bukti dalam kasus ini.

Jika pertama kali yang membuat ini tersebar adalah Annyomous , maka para pelapor tidak dapat dipidana, karena para pelapor hanya menjalankan kewajiban sebagaimana Pasal 1 butir 24 KUHAP. Dan jika alat bukti diperoleh dari yang tidak berindentitas seperti Annyomous, apakah tetap bia dijadikan alat bukti? Jika mengandung unsur pidana, mengapa tidak. Yang terpenting adalah apakah isi percakapan itu bermuatan pornografi atau tidak, itu saja masalahnya, jangan malah mempermasalahkan para pelapor karena mereka melaksanakan perintah UU sebagaimana Pasal 1 butir 24 KUHAP.

Selain menyinggung beberapa situs-situs di atas, Kapitra Ampera juga membuat pernyataan yang memalukan karena mengatakan bahwa orang yang membujuk itu, maka harus ada feedback seperi dibayar dan lain sebagainya. Lalu timbul sebuah pertanyaan hukum, Jika Rizieq menjanjikan ‘’janji temu’’ dan menyatakan keinginan Rizieq untuk menikahi Firza dan mencumbu Firza secara halal, lalu setelah ada kalimat bujukan yang membujuk Firza berfoto telanjang, apakah itu bukan namanya feedback? Jadi secara tidak langsung Kapitra Ampera telah membenarkan argumentasi saya sebelumnya bahwa Firza dibujuk. Kalau Firza tidak dibujuk Rizieq, mengapa Kapitra harus bicara terminologi ‘’membujuk’’ ?

Selain berbicara mengenai membujuk, Kapitra juga berbicara mengenai yang menyuruh. Yang menyuruh tidak dapat dipidana. Tidak dapat dipertanggungjawabkan. Begitulah kata Kapitra Ampera dalam diskusi hukum ILC: ‘’Membidik Habib Rizieq’’. Lucu dan memalukan, karena justru yang menyuruh itulah yang dapat dipidana, karena orang yang disuruhnya itu tidak memiliki mens rea atau niat jahat untuk melakukan suatu perbuatan pidana. Adanya perbuatan pidana atau actus reus yang dilakukan oleh orang yang disuruh adalah perbuatan orang yang menyuruh tadi dengan kata lain menggunakan tangan orang lain untuk berbuat kejahatan, dan itu jelas pidana bagi orang yang menyuruh bukan pidana bagi yang disuruh. Orang yang disuruh tidak dapat dipidana, karena tidak ada mens rea-nya. Jadi saya sungguh tak habis pikir , jika Kapitra Ampera SALAH TOTAL dalam menjelaskan perbedaan antara orang yang membujuk dengan orang yang disuruh melakukan tindak pidana.

Termasuk pernyataan ahli hukum pidana, Jamin Ginting yang merupakan salah satu ahli pidana idola saya, meski agak kecewa karena beliau menyatakan bahwa dua-dua bisa dipidana karena kualitasnya sama yang membujuk/dibujuk, menggerakkan/digerakkan. Itu agak keliru, karena tindak pidana yang menjerat Firza bukan tindak pidana umum yang dapat mempidanakan orang yang membujuk dan orang yang dibujuk. Kalau tindak pidana umum benar demikian. Tapi oleh karena tindak pidana yang menjerat Firza adalah tindak pidana khusus maka mengikuti penjelasan Pasal 8 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, orang yang dibujuk menjadi objek atau model pornografi tidak dipidana.

Kemudian, pernyataan ahli hukum pidana Akhiar Salmi yang menyatakan bahwa ini nanti serunya pada penafsiran hukum dalam penjelasan Pasal 4 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi yang menyangkut, tidak dipidana jika untuk dirinya sendiri dan kepentingannya sendiri, karena privasi. Ahli menyatakan bahwa jika Firza mentransmisikan itu untuk kepentingannya sendiri dengan Rizieq, maka dua-duanya tidak dapat dipidana. Loh ini bagaimana logika hukumnya mengatakan demikian? Karena dengan Firza mentransmisikan foto telanjangnya ke Rizieq sesuai dengan permintaan Rizieq melalui WhatsApp, itu sudah bukan privasi lagi , bukan untuk kepentingan Firza lagi. Karena jika untuk kepentingan pribadi Firza , maka foto itu tidak akan ditransmisikan kepada Rizieq, tetap disimpan di dalam gallery.

Dan berdasarkan KBBI, privasi memiliki arti: keleluasaan pribadi. Berdasarkan arti privasi, maka yang dilakukan Firza bukan privasi lagi, karena kalau privasi tidak ditransmisikan. Tapi faktanya, itu ditransmisikan , jadi privasinya sudah hilang. Hanya Rizieq yang dapat dipidana, Firza tidak dapat dipidana karena ada bujukan dari Rizieq (vide: Penjelasan Pasal 8 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi). Argumen Firza dibujuk, secara tidak langsung dibenarkan Kapitra Ampera lewat pernyataannya yang menyatakan bahwa orang yang membujuk, gak dapat dipidana. Tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tapi argumen itu memalukan karena dalam kasus ini Rizieq dapat dipidana. Jadi, jika Rizieq tidak Membujuk Firza mengapa Kapitra sampai harus mengeluarkan kalimat “orang yang membujuk gak dapat dipidana”? Adanya pembujukan bisa dibuktikan dari alat bukti.



loading...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.