Bukan Rangkul, Penjarakan Rizieq dengan Segala Cara, Strategi Terbaik Jokowi 2019
loading...
SEWORD.COM - Rizieq akan bebas dari kasus chat porno dan kasus-kasus lain? Buni Yani akan lepas? Deal FPI akan dibubarkan jika Rizieq dibebaskan? Publik normal dan waras dibuat jengah dengan perkembangan politik Indonesia, jelang 2019. Posisi dan konstelasi politik berjalan dinamis. Sikap tegas Presiden Jokowi dengan pembubaran ormas radikal dan penguatan NKRI dan Pancasila mengubah arah politik.
Namun, saat bersamaan maneuver berbagai sudut berlangsung. Rizieq yang kabur ke Arab menaikkan posisi tawar. Minta dibebaskan. Sementara kalangan tertentu menawarkan strategi kacau road map Jokowi 2019. Ini di luar keinginan the Supreme Operator dan sebagian the Operators.
Namun, saat bersamaan maneuver berbagai sudut berlangsung. Rizieq yang kabur ke Arab menaikkan posisi tawar. Minta dibebaskan. Sementara kalangan tertentu menawarkan strategi kacau road map Jokowi 2019. Ini di luar keinginan the Supreme Operator dan sebagian the Operators.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Apa kaitan perkembangan terkait maneuver berbagai pihak di dalam dan luar Istana terkait penanganan kasus Rizieq FPI? Yakinkah bahwa deal tukeran pembebasan kasus Rizieq dengan pembubaran FPI bisa terjadi? Apakah dengan merangkul Islam garis keras dan Islam radikal seperti 2017 di Pilkada DKI akan menguntungkan Jokowi 2019? Perhitungan apakah yang menjadi alat pacu dan picuan bagi upaya pembebasan Rizieq dan – juga Buni Yani?
Rizieq FPI adalah pion kelas teri. Kelas cere. Dia hanyalah kaki tangan. Bukan tokoh. Ibaratnya dia adalah buruh atau jongos politik. Kehidupannya ditopang dari fungsinya sebagai cecunguk, sebagai alat. Tak lain dan tak bukan. Kini dia meminta ke Negara Indonesia memetieskan kasus chat pornonya. Tentu ada imbal balik politiknya. Dia mencoba menampilkan sisi tawarnya: FPI.
Di tengah Rizieq dan FPI banjir dukungan dari mulai kaki tangannya Anies Baswedan, Prabowo, SBY, Harry Tanoe, kelompok pendana lainnya, dan bahkan Om Tommy, kini muncul pemikiran tentang peran Islam radikal dalam politik Indonesia.
Tekanan kuat Presiden Jokowi untuk menghancurkan Islam radikal, ormas anti Pancasila, ormas berazskan khilafah, dengan Perppu Ormas, tentu menyengat tidak hanya pengikut, juga para simpatisan mereka. Simpatisan ini pun berada di semua lini kekuasaan selama 30 tahun belakangan, termasuk di dalam masa pemerintahan Jokowi.
Perlawanan politik oleh simpatisan yang selama 10 tahun mereguk kekuasaan, pundi uang, kesempatan korup, dan memupuk budaya KKN yang masif, terstruktur, dan sistematis itu lebih dramatis lagi ketika semua kepentingan itu digabungkan dengan dan atas nama agama.
Tiba-tiba agama dijadikan alat yang jauh lebih keras, kejam, blatant, dalam menyobek kebangsaan Indonesia. Agama secara terang-terangan digunakan sebagai alat politik, sebagai tameng, sebagai pembenar, sebagai kedok dan sebagai tempat untuk menyembunyikan kejahatan politik dan hukum.
Sukses Jusuf Kalla mendudukkan Anies di DKI dan memimpin pergerakan Islam di bawah kendalinya, dengan kolaborasi dengan Islam radikal FPI, FUI, GNPF, telah membuat posisi JK dianggap penting dalam konstelasi dan kontestasi politik 2019. Pun posisi JK di Golkar dan pengusaha di berbagai lini kehidupan dianggap sebagai kartu kekuatan.
Maka Islam radikal dianggap sebagai kekuatan nyata dalam politik di Indonesia. Gambaran yang salah kaprah. Mereka hanya minoritas yang harus disingkirkan dengan segera sebelum mereka semakin besar.
Ketika manusia Prabowo dan SBY dan Amien Rais dan para simpatisan itu mengelukan Rizieq dan FPI, Jokowi harus ingat bahwa mereka tengah bermain-main dengan api yang bisa membakar NKRI. Kemenangan itu menjadi titik balik kesadaran perlawanan dan kesadaran akan perlunya mereka bersuara.
Ketika perang strategi di Pilkada DKI, dengan Ahok sebagai center of interest, bahkan sebagai political target, bahkan sebagai martir demokrasi, kemenangan Anies dan kriminalisasi Ahok justru menjadi titik awal kekuatan silent majority bersuara.
Apalagi adanya fakta bahwa antara pendukung Jokowi dan pendukung Ahok saling beririsan. Mereka sebagai silent majority memiliki kepentingan yang sama yakni keadilan, kehormatan, toleransi, pluralisme, keragaman, Pancasila, dan NKRI.
Polarisasi kekuatan telah nyata. Kini dua kekuatan nyata tengah berseberangan saling rebut pengaruh untuk Pilpres 2019, tentu sebelumnya pilkada serentak 2018. Yang satu kelompok SBY, Prabowo, JK menggandeng FPI dan gerakan Islam radikal itu. Yang satu lagi menggunakan kekuatan politik waras dan elegan sesuai dengan tujuan bangsa dan negara.
Maka, ketika terjadi perkembangan politik yang mengarah pada kompromi politik dengan Rizieq FPI dengan memetieskan kasusnya – dan juga upaya membebaskan Buni Yani – publik waras silent majority pun dibuat terkaget. (Syukur kalau ini hanya strategi mengelus ular agar ular jinak dan keluar dari sarang lalu digebuk dengan kasus lain, baru jos. Tapi kalau kebablasan berakibat sangat buruk bagi penegakan hukum di NKRI.)
Strategi mana pula yang mencoba membenamkan rasa keadilan demi dukungan Islam garis keras – yang senyatanya telah dikuasai oleh lawan politik Jokowi? Jika deal pembebasan Rizieq benar terlaksana dengan dealpembubaran FPI sekali pun, tidak ada jamiman simpatisan Islam radikal memuji dan beralih mendukung Jokowi. Tidak. Mereka adalah para manusia ideologist yang susah untuk berpindah haluan dan keyakinan politik.
Senyatanya, hanya dengan memenjarakan Rizieq FPI, Buni Yani, penuntasan kasus makar, penghinaan kepada Presiden Jokowi, dan lain-lain termasuk ketegasan membongkar E-KTP yang juga melibatkan tersangka Setya Novanto, maka silent majority akan melihat ketegasan dan keadilan dalam masyarakat, dan akan memenangkan Jokowi.
Jokowi sebaiknya mengabaikan saran dan strategi untuk memanfaatkan atau merebut simpati para penganut khilafah, Islam garis keras, FPI, FUI, HTI, GNPF yang jumlahnya cuma segelintir dan dibesar-besarkan itu. Gerakkan dan gelorakan Nawa Cita dalam pembangunan yang sudah berjalan. Itu modal besar untuk kemenangan di 2019.
Kita yakin, Presiden Jokowi tdak ikut-ikutan silau melihat keberhasilan skenario testing the water oleh JK dan Prabowo dan SBY yang menggandeng FPI dan berhasil mendudukkan Anies. Tidak. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak seperti pemilih Anies di DKI yang merupakan 58% warga tercerdas di DKI dan juga mungkin di dunia akhirat. Masih banyak orang Indonesia yang waras dan tidak akan termakan oleh gerakan Islam radikal. Penjarakan Rizieq dan Buni Yani, maka Jokowi dua periode.
Rizieq FPI adalah pion kelas teri. Kelas cere. Dia hanyalah kaki tangan. Bukan tokoh. Ibaratnya dia adalah buruh atau jongos politik. Kehidupannya ditopang dari fungsinya sebagai cecunguk, sebagai alat. Tak lain dan tak bukan. Kini dia meminta ke Negara Indonesia memetieskan kasus chat pornonya. Tentu ada imbal balik politiknya. Dia mencoba menampilkan sisi tawarnya: FPI.
Di tengah Rizieq dan FPI banjir dukungan dari mulai kaki tangannya Anies Baswedan, Prabowo, SBY, Harry Tanoe, kelompok pendana lainnya, dan bahkan Om Tommy, kini muncul pemikiran tentang peran Islam radikal dalam politik Indonesia.
Tekanan kuat Presiden Jokowi untuk menghancurkan Islam radikal, ormas anti Pancasila, ormas berazskan khilafah, dengan Perppu Ormas, tentu menyengat tidak hanya pengikut, juga para simpatisan mereka. Simpatisan ini pun berada di semua lini kekuasaan selama 30 tahun belakangan, termasuk di dalam masa pemerintahan Jokowi.
Perlawanan politik oleh simpatisan yang selama 10 tahun mereguk kekuasaan, pundi uang, kesempatan korup, dan memupuk budaya KKN yang masif, terstruktur, dan sistematis itu lebih dramatis lagi ketika semua kepentingan itu digabungkan dengan dan atas nama agama.
Tiba-tiba agama dijadikan alat yang jauh lebih keras, kejam, blatant, dalam menyobek kebangsaan Indonesia. Agama secara terang-terangan digunakan sebagai alat politik, sebagai tameng, sebagai pembenar, sebagai kedok dan sebagai tempat untuk menyembunyikan kejahatan politik dan hukum.
Sukses Jusuf Kalla mendudukkan Anies di DKI dan memimpin pergerakan Islam di bawah kendalinya, dengan kolaborasi dengan Islam radikal FPI, FUI, GNPF, telah membuat posisi JK dianggap penting dalam konstelasi dan kontestasi politik 2019. Pun posisi JK di Golkar dan pengusaha di berbagai lini kehidupan dianggap sebagai kartu kekuatan.
Maka Islam radikal dianggap sebagai kekuatan nyata dalam politik di Indonesia. Gambaran yang salah kaprah. Mereka hanya minoritas yang harus disingkirkan dengan segera sebelum mereka semakin besar.
Ketika manusia Prabowo dan SBY dan Amien Rais dan para simpatisan itu mengelukan Rizieq dan FPI, Jokowi harus ingat bahwa mereka tengah bermain-main dengan api yang bisa membakar NKRI. Kemenangan itu menjadi titik balik kesadaran perlawanan dan kesadaran akan perlunya mereka bersuara.
Ketika perang strategi di Pilkada DKI, dengan Ahok sebagai center of interest, bahkan sebagai political target, bahkan sebagai martir demokrasi, kemenangan Anies dan kriminalisasi Ahok justru menjadi titik awal kekuatan silent majority bersuara.
Apalagi adanya fakta bahwa antara pendukung Jokowi dan pendukung Ahok saling beririsan. Mereka sebagai silent majority memiliki kepentingan yang sama yakni keadilan, kehormatan, toleransi, pluralisme, keragaman, Pancasila, dan NKRI.
Polarisasi kekuatan telah nyata. Kini dua kekuatan nyata tengah berseberangan saling rebut pengaruh untuk Pilpres 2019, tentu sebelumnya pilkada serentak 2018. Yang satu kelompok SBY, Prabowo, JK menggandeng FPI dan gerakan Islam radikal itu. Yang satu lagi menggunakan kekuatan politik waras dan elegan sesuai dengan tujuan bangsa dan negara.
Maka, ketika terjadi perkembangan politik yang mengarah pada kompromi politik dengan Rizieq FPI dengan memetieskan kasusnya – dan juga upaya membebaskan Buni Yani – publik waras silent majority pun dibuat terkaget. (Syukur kalau ini hanya strategi mengelus ular agar ular jinak dan keluar dari sarang lalu digebuk dengan kasus lain, baru jos. Tapi kalau kebablasan berakibat sangat buruk bagi penegakan hukum di NKRI.)
Strategi mana pula yang mencoba membenamkan rasa keadilan demi dukungan Islam garis keras – yang senyatanya telah dikuasai oleh lawan politik Jokowi? Jika deal pembebasan Rizieq benar terlaksana dengan dealpembubaran FPI sekali pun, tidak ada jamiman simpatisan Islam radikal memuji dan beralih mendukung Jokowi. Tidak. Mereka adalah para manusia ideologist yang susah untuk berpindah haluan dan keyakinan politik.
Senyatanya, hanya dengan memenjarakan Rizieq FPI, Buni Yani, penuntasan kasus makar, penghinaan kepada Presiden Jokowi, dan lain-lain termasuk ketegasan membongkar E-KTP yang juga melibatkan tersangka Setya Novanto, maka silent majority akan melihat ketegasan dan keadilan dalam masyarakat, dan akan memenangkan Jokowi.
Jokowi sebaiknya mengabaikan saran dan strategi untuk memanfaatkan atau merebut simpati para penganut khilafah, Islam garis keras, FPI, FUI, HTI, GNPF yang jumlahnya cuma segelintir dan dibesar-besarkan itu. Gerakkan dan gelorakan Nawa Cita dalam pembangunan yang sudah berjalan. Itu modal besar untuk kemenangan di 2019.
Kita yakin, Presiden Jokowi tdak ikut-ikutan silau melihat keberhasilan skenario testing the water oleh JK dan Prabowo dan SBY yang menggandeng FPI dan berhasil mendudukkan Anies. Tidak. Sebagian besar rakyat Indonesia tidak seperti pemilih Anies di DKI yang merupakan 58% warga tercerdas di DKI dan juga mungkin di dunia akhirat. Masih banyak orang Indonesia yang waras dan tidak akan termakan oleh gerakan Islam radikal. Penjarakan Rizieq dan Buni Yani, maka Jokowi dua periode.
Salam bahagia ala saya.
loading...
Tidak ada komentar: